Tuesday, 19 March 2024, 10:43

gaulislam edisi 717/tahun ke-14 (9 Dzulhijjah 1442 H/ 19 Juli 2021)

Sehari menjelang Idul Adha 1442 H, yang memang biasanya kadung identik dengan qurban (selain tentunya juga identik dengan ibadah haji), kita bahas juga tema yang dekat dengan qurban. Namun, karena ada momen PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) terkait menyebarnya Covid-19, maka kita juga akan sedikit bahas seputar ini. Khususnya, dampak dari PPKM alias ada korbannya. Ya, korban PPKM. Jadi, judulnya emang diambil seperti ini. Semoga bisa tuntas bahasnya, ya. Insya Allah.

Sobat gaulislam, ngomongin soal pandemi, seperti nggak ada habisnya untuk saat ini. Kayak kalo kamu ngomongin game online atau drakor dan sepakbola. Selalu aja jadi bahasan. Nah, soal pandemi ini, rasa-rasanya makin ke sini makin bikin puyeng. Pro kontra pendapat para pakar di bidangnya soal penanganan pandemi bikin pusing orang awam. Gimana nggak, kan mereka para pakar, tetapi berbeda pendapat. Belum lagi kebijakan dan penerapan aturan oleh negara yang sepertinya nggak siap. Boleh dibilang kebijakan setengah hati. Mungkin bingung, mungkin juga kalut. Hasilnya, justru masyarakat bawah banyak yang jadi korban.

Bener. Udah lebih dari setahun pandemi Covid-19 di negeri kita. Sejak mulai diumumkan bahwa negeri ini terpapar coronavirus pada awal Maret tahun lalu. Sampai sekarang, penanganannya kocar-kacir nggak karuan. Banyak istilah dipake, mulai dari PSBB, berbagai jenis PPKM, sampai dengan yang sedang diterapkan yakni PPKM Darurat khusus untuk wilayah Jawa-Bali (tanggal 3-20 Juli 2021—yang kencang juga muncul rencana perpanjangannya). Hasilnya? Ya, gini-gini aja, sih. Tadinya diharapkan lonjakan Covid-19 varian Delta bisa melandai, eh malah per hari lima puluh ribu kasus. Bisa jadi akan berbeda jika dilakukan lockdown (karantina wilayah) sejak awal, dengan durasi misalnya sebulan. Cuma persoalannya, kalo lockdown negara wajib menjamin semua kebutuhan rakyat yang terdampak. Misalnya satu provinsi, ya satu provinsi itu benar-benar nggak boleh keluar warganya. Kebutuhan ekonomi mereka dijamin negara. Selama ini nggak dilakukan karena harganya terlalu mahal. Negara bisa jadi kudu ngeluarin kas negara ratusan triliun rupiah. Rasa-rasanya memang nggak mampu. Itu sebabnya, nggak pernah dilakukan opsi ini.

Nah, kamu perlu tahu dan sepertinya memang kamu tahu mestinya kalo membaca tivi dan menonton koran, eh, kebalik ya. Sebagaimana yang diberitakan, dampak dari PPKM ini justru kebanyakan masyarakat kecil. Jualan nggak boleh, malah ada yang barang dagangannya diangkut anggota Satpol PP. Alasannya, ya sedang diberlakukan PPKM. Nggak boleh ada yang keluar rumah kalo nggak perlu banget (emergency). Bagi pekerja sektor tertentu juga kudu menunjukkan surat yang disetujui khusus agar bisa lolos dari penyekatan. Intinya dibatasi.

Protes dari berbagai kalangan, khususnya kepada kebijakan negara menerapkan PPKM yang justru menyusahkan masyarakat kelas bawah. Gimana pun juga pasti ada dampaknya. Sebab, di kelas sosial ini, kalo nggak cari nafkah hari itu, ya nggak makan hari itu. Mereka mencari nafkah harian. Pendapatannya harian. Jelas, berat jika beberapa hari nggak boleh jualan atau kerja harian lainnya. Ini juga paling banyak korbannya. Kalo mereka yang kelas menengah ke atas, mendapat gaji bulanan, nggak terlalu merasakan dampaknya. Kalo pun harus WFH (work from home) ya tetap digaji bulanan. Aman, insya Allah.

Dikorbankan?

Sebenarnya nggak tega juga sih kalo nyebut dikorbankan. Eh, tapi ini kan nulis, ya? Hehe… sama aja sih. Intinya, ketika ada dampak dari penerapan suatu kebijakan, maka ada saja yang imbasnya menjadi korban. Emang sih berbeda dengan qurban di hari Idul Adha, yang itu adalah ibadah. Korban dalam pembahasan ini bisa dikatakan akibat dari adanya kezaliman. Apalagi dilakukan oleh negara. Jadi, memang berbeda. Sama-sama ada istilah korban, tetapi maknanya berbeda jauh. Maka, bisa jadi memang pada akhirnya rakyat yang jadi korban atau harus dikorbankan. Ngeri, euy!

Di sisi lain, ada juga informasi (setidaknya melalui media massa) bahwa pintu negara tak ditutup untuk para pendatang dari luar negeri, khususnya para tenaga kerja asing. Mereka masih bebas masuk ke negeri kita dengan alasan pekerjaan di sektor penting bagi negeri kita. Apa betul alasan tersebut? Allahu a’lam. Oya, kebanyakan TKA itu dari Cina. Lho, kok bisa? YNTKTS! (“Yo Ndak Tau Kok Tanya Saya”)

Kondisi kayak gini, jelas nampak ketidakadilan dan juga ketidakbecusan pemerintah dalam menangani wabah. Boleh dibilang ngawur dan asal-asalan. Walau tentu saja di lapangan kita melihat banyak fakta tenaga kesehatan yang kecapekan, bahkan tumbang berguguran sebagai garda terdepan dalam menyelamatkan mereka yang sakit akibat wabah ini. Rumah sakit penuh, banyak pasien tak bisa ditangani di rumah sakit sehingga akhirnya memilih isoman di rumah.

Waduh, kalo nakes (tenaga kesehatan yang merupakan ujung tombak) dalam penanganan wabah ini banyak yang bertumbangan, jadi inget dulu para relawan dan petugas KPPS di Pemilu 2019 lalu. Mereka juga banyak bertumbangan. Ratusan pula jumlahnya. Itu sebabnya, Adhie M Massardi di twitter nulis begini: “Ujung Tombak ujungnya tombok. Itulah peristiwa yang terjadi sekarang ini. Saat pemilu ujung tombaknya relawan di KPPS dan sekitar 1000 anggota KPPS tewas. Sikap pemerintah gak jelas. Saat pandemi Covid-19 ujung tombaknya Nakes. Banyak yang tewas. Nasib mereka juga gak jelas!”

Lalu, apa ini sama-sama korban atau dikorbankan? YNTKTS!

Korban PPKM ini memang lebih banyak rakyat kecil, kelas bawah. Kebijakan yang tak disertai solusi memang bikin ruwet. Nggak boleh jualan, tetapi nggak dikasih solusi gimana caranya bisa cari nafkah. Nggak boleh melakukan mobilitas, tetapi kelas bawah yang memang harus cari nafkah harian nggak diberikan solusi agar mereka diam di rumah. Bagi rakyat kecil, ikut aturan PPKM atau melawannya, sama sulitnya. Ikut aturan, susah cari nafkah. Mau tetap nekat cari nafkah di jalanan, berpotensi diperkarakan petugas lapangan PPKM. Masih mending jika cuma dimaki-maki doang, tetapi seringkali kali dimaki, dipersekusi, dan barang dagangan diangkut entah ke mana. Dilematik yang bikin stres.

Bagaimana seharusnya?

Bro en Sis rahimakumullahu, pembaca setia gaulislam. Ini juga pertanyaan. Memang perlu solusi untuk masalah ini. Lalu apa solusi jitunya? Hmm… berat sih masalahnya. Perlu banyak aspek yang diperhatikan. Cuma, kalo kita mau merujuk kepada Islam, solusinya bisa dua hal: sistemik dan praktis. Sistemik itu terkait penerapan aturan dan kebijakan negara, sementara yang praktis itu bisa dilakukan kelompok atau individu tanpa melibatkan negara.

Kalo sistemik, ini biasanya lebih rumit dalam mengupayakanya, tetapi jika bisa dilakukan, kerumitan di tingkat bawah bisa terselesaikan atau setidaknya meminimalisir dampak persoalan. Sementara kalo solusinya praktis, ini lebih mudah dipraktekkan, tetapi masalah utama nggak selesai-selesai. Hanya berkutat pada rutinitas penyelesaian masalah yang sifatnya praktis saja, yakni dampak ikutan dari masalah utama.

Contoh nih, ya. Kalo atap rumah bocor dan sudah diketahui posisi bocornya, maka solusi sistemik itu adalah ada upaya untuk langsung menutup atap yang bocor, walau dengan proses yang cukup berat karena harus naik dan menggunakan peralatan keamanan. Perlu ahli, perlu keberanian. Tetapi hasilnya langsung terasa.

Lalu gimana kalo solusi praktis dalam masalah ini? Kalo sudah tahu atap rumah bocor dan posisinya, tetapi enggan membetulkannya, dan memilih hanya menyediakan ember untuk menampung air bocoran dari atap, maka rutinitas pekerjaannya akan selalu ada ketika hujan turun. Masih mending kalo bocornya di situ-situ aja, embernya juga disediakan untuk posisi kebocorannya. Gimana kalo bocornya tambah banyak? Pastinya repot, tuh. Intinya, solusi praktis bisa lebih mudah dilakukan, tetapi tak menyelesaikan masalah utama, tersebab hanya fokus pada masalah pelengkap.

Maka, analogi atap bocor ini bisa diterapkan juga pada negara. Coba kamu pikir, kalo negara dikuasai para bromocorah, pengusaha licik, dan menjalankan sistem oligarki alias pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu, maka penyelesaiannya jauh lebih berat, tetapi memang harus dilakukan jika ingin terbebas dari berbagai problem kehidupan.

Kayak sekarang contohnya. Lockdown nggak dijadikan solusi di awal dalam penanganan wabah karena masih memikirkan nasib pengusaha tertentu (yang udah menjadi ‘donatur’ yang mengantarkannya pada tampuk kekuasaan), sekaligus nggak mau menafkahi rakyat. Kok bisa? Selama ini kan begitu. Negara menjadi alat pelindung para pengusaha, sementara dengan rakyat malah berbisnis, eh, tepatnya malak dengan pajak, bayar biaya kesehatan, bayar biaya pendidikan. Jadinya seperti plesetan sebuah lagu: “selamat para pemimpin rakyatnya mampu menjamin”. Ruwet!

Sekarang aja coba lihat saling lempar tanggung jawab dalam penanganan pandemi ini. Koordinasi antar menteri kacau bin kocar-kacir, bahkan ada menteri yang pergi ke luar negeri di tengah pandemi yang seakan tak pernah berhenti. Eh, presidennya malah curhat di publik bilang kecewa ada menterinya yang begitu rupa. Berarti presidennya nggak dianggap. Mestinya kan tahu (atau pura-pura nggak tahu?). Kalo boleh berkomentar, sih. Ini bukan kocar-kacir, sih. Tepatnya, mencari sekoci masing-masing untuk menyelematkan diri. Meninggalkan kapal pecah yang hampir karam, karena nakhoda tak pernah punya kendali.  

Nah, itu baru persoalan pandemi, lho. Belum urusan lainnya. Jadi ketika sistem ini rusak, maka ke bawah juga akan rusak. Nggak karuan. Lalu, masih mau mempertahankan sistem ini? Coba mikir deh. Kamu yang masih remaja sengaja saya ajak mikir gini, supaya bisa melihat jauh ke depan. Sebab, negara ini sedang tidak baik-baik saja. Bahaya, malah.

Sebagai muslim, dan sebagai negara dengan pendudukan mayoritas muslim, mestinya kita hanya menjadikan Islam sebagai pengatur kehidupan kita. Bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Islam itu ideologi, jadi bisa diterapkan dalam sebuah negara. Sebagai sebuah ideologi, Islam pernah memimpin dunia. Mulai dari masa kenabian, dilanjut masa khulafa ar-rasyidin, lalu para khalifah setelahnya hingga terakhir di Turki Utsmani pada 1924. Jika ingin bangkit dari keterpurukan ini, maka memang harus mengubah sistem ini kembali dengan Islam yang ditetapkan sebagai ideologi negara.

Islam udah lengkap turun dan menjadi tuntunan bukan hanya buat kaum Muslimin, tapi untuk semua manusia. Islam tuh rahmatan lil alamin alias rahmat bagi seluruh alam (termasuk umat manusia). Tentu, jika manusia mau memahami Islam dengan benar dan dari sumber yang benar. Sebagai Muslim, kayaknya kagak pantes banget kalo kita nggak mau diatur oleh Islam dalam hidup ini. Allah Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 36)

Hanya kepada Allah Ta’ala kita berharap dan memohon segala pertolongan. Semoga kita semua diberkahi, dirahmati, dan senantiasa dilindungi oleh Allah Ta’ala. Jadi, yuk sama-sama kita berjuang untuk membela Islam. Semoga keimanan, ketakwaan, keberanian, keikhlasan, dan semangat juang senantiasa menjadi penggerak dakwah kita. Tentu, agar Islam tetap bergema hingga akhir zaman.

Saya kutipkan sebuah hadis yang semoga saja kian meyakinkan diri kita dan mampu mengobarkan semangat kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Perkara ini (Islam) akan merebak di segenap penjuru yang ditembus malam dan siang. Allah tidak akan membiarkan satu rumah pun, baik gedung maupun gubuk melainkan Islam akan memasukinya sehingga dapat memuliakan agama yang mulia dan menghinakan agama yang hina. Yang dimuliakan adalah Islam dan yang dihinakan adalah kekufuran” (HR Ibnu Hibban)

Betul, hanya dengan Islam yang diterapkan sebagai ideologi yang insya Allah bisa menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk pandemi Covid-19 ini. Islam nggak akan mengorbankan rakyat untuk kepentingan sekelompok bromocorah yang ikut mengendalikan negara atau nggak akan mau tunduk pada kebijakan negara lain dan organisasi dunia mana pun untuk mengendalikan negeri ini. Sebaliknya, membabat habis para bedebah, lalu berupaya keras untuk kesejahteraan rakyat. Ya, insya Allah akan tiba masanya nanti. Berjuang dan bersabarlah! [O. Solihin | IG @osolihin]