gaulislam edisi 711/tahun ke-14 (26 Syawal 1442 H/ 7 Juni 2021)
Di media sosial, banyak orang mengumbar aibnya sendiri. Kok bisa, ya? Padahal, normalnya sih kita akan menutup aib kita sendiri. Nggak perlu ada orang lain tahu tentang keburukan or kejelekan kita. Namun, zaman sudah berubah. Orang mudah terseret atau minimal terpancing untuk menceritakan banyak hal tentang dirinya, termasuk aibnya sendiri. Seringkali tanpa sadar, atau malah merasa bahwa itu bukan aib. Hmm… ada yang salah dalam cara pandang kalo gitu, ya.
Sobat gaulislam, dalam pergaulan kita di dunia nyata atau dunia maya, pastinya kita akan ketemu dan berkomunikasi dengan banyak orang. Ada yang kita kenal baik, ada yang kita kenal selintasan saja (misalnya kita kenal dia karena kita mengenal temannya yang merupakan teman kita), ada yang sama sekali kita nggak kenal.
Sikap atau respon normal bagi seseorang yang sudah sangat saling kenal, maka di antara mereka biasanya nggak canggung untuk berbicara topik apa pun, termasuk masalah pribadi. Bukan cuma kenal, tetapi juga sudah saling percaya. Itu sebabnya, dalam kondisi seperti ini yang sama-sama tahu masalah mereka hanya di antara mereka berdua saja. Orang lain, yang cuma kenal selintasan saja, atau malah tak kenal, nggak akan diberi tahu. Lagian ngapaian juga ngasih tahu urusan pribadi kita ke orang yang cuma kenal selintasan dan nggak kenal sama sekali. Kita nggak ada urusan dengan mereka dan mereka juga nggak perlu tahu urusan kita.
Nah, coba sekarang kita bikin simulasi, ya. Tahu kan apa itu simulasi? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), simulasi itu adalah metode pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya. Jadi begini, coba dipikirkan (sebelum bertindak) seandainya kamu sampaikan ke orang yang kamu temui di jalanan, dan jelas kamu nggak kenal dia. Lalu, kamu ceritakan masalah-masalahmu bahkan hal aib tentang dirimu, apalagi ditambah kamu menceritakan aib temanmu atau orang tuamu. Kira-kira apa respon orang itu? Ini jangan dipraktekkan, tapi dipikirkan aja.
Bingung sendiri, kan? Iya lah. Lagian ngapain cerita masalahmu kepada orang yang nggak kamu kenal. Bukannya dapat solusi, bisa jadi malah tambah runyam persoalanmu. Mulai dari salah paham, sampai masalahmu jadi benang kusut. Nggak tahu cara mengurainya karena sudah terlanjur tersebar luas, jika orang yang kamu ceritakan malah menceritakan lagi kepada orang lain. Ribet banget, deh.
Ini baru simulasi dalam bentuk pikiran. Sekadar membayangkan kira-kira apa yang terjadi jika kamu melakukan hal itu. Termasuk jika kamu posting masalahmu di media sosial. Ini akan lebih dahsyat lagi karena mudah tersebar dan akhirnya jadi viral. Apa kamu nggak malu? Atau, jangan-jangan sedang memproduksi konten untuk membongkar aibmu sendiri. Gimana pun juga, walau tujuan kamu membongkar aib orang lain, tetapi karena orang lain itu pernah dekat dengan kamu, maka sebenarnya kamu sedang membuka aibmu sendiri. Dan, itu kamu sebar ke semua orang yang bahkan tak kamu kenal. Ngeri banget!
Oya, mungkin kamu berpikir bahwa kalo sebagai orang biasa (bukan seleb) sih ngapain juga nyebarin begituan, tanggapan orang nggak bakalan heboh. Biasa aja. Namun, seandainya kamu adalah influencer alias orang yang bisa memengaruhi publik, pastilah dampaknya akan lebih besar lagi. Di zaman sekarang, influencer dianggap bisa mendongkrak bisnis atau opini. Siapa dia? Mungkin mirip seleb, ya. Dikenal sih yang sudah pasti. Bisa dikenal di kalangan tertentu, di komunitas tertentu, di kalangan anak muda baru hijrah, atau dikenal di negara tertentu, bahkan dikenal di seluruh dunia. Ada tingkatannya. Intinya, dia idola deh. Wah, kalo ini jelas dampaknya akan lebih memengaruhi banyak orang. So, kalo dia curhat, pastilah cepat direspon netizen. Duh, perlu hati-hati kalo kemudian yang dishare adalah keburukan, bahkan aib.
Jaga jari dan lisanmu
Sobat gaulislam, kalo ada masalah, jangan biasakan umbar masalah pribadimu atau masalah dengan orang lain namun sifatnya pribadi di media sosial. Itu jelas keliru. Nggak bakalan menyelesaikan masalah. Kecuali–tapi ini juga perlu hati-hati dan dipikirkan dengan matang—saat menanggapi informasi yang sudah kadung liar di media sosial yang melibatkan dirimu. Ya, sekadar klarifikasi. Cukup. Tidak perlu mengungkit keburukan orang tersebut. Cukup menjelaskan tuduhan, jika memang itu sekadar tuduhan. Atau, jika pun itu memang fakta, tanggapi saja seperlunya. Sisanya, nggak usah diladeni. Ini untuk menghentikan sebaran aib.
Jaga emosimu agar jari dan lisanmu tak mudah membuat status di medsos atau pernyataan yang sebenarnya tak perlu diketahui orang lain dan nggak penting-penting amat orang kudu tahu masalahmu. Misalnya masalah keluargamu. Jangan mengenyangkan nafsu orang-orang yang hendak menjerumuskanmu. Ingat, tak semua informasi pribadimu perlu diketahui orang lain, dan nggak perlu juga menyebar informasi kepada orang yang nggak ada hubungannya dengan masalah yang sedang kamu hadapi, apalagi itu kategori aib. Tutup rapat aibmu.
Kita nggak tahu kan ketika postingan kita di twitter atau instagram atau facebook itu kemudian dijadikan santapan empuk orang-orang yang berniat jahat terhadap dirimu, keluargamu, bahkan terhadap agamamu. Apalagi jika kamu anak dari orang terkenal, atau kamu sendiri dikenal oleh publik. Perlu bijak dan hati-hati. Jangan sampai kontraproduktif alias nggak menguntungkan. Tidak menguntungkan buat kamu, tidak menguntungkan buat keluargamu, juga tidak menguntungkan buat agamamu. Waspadalah tipu daya setan yang memoles keburukan jadi terlihat seperti keindahan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR Muslim)
Ulama besar Syafi’iyyah, Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, ”Ini merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.’ (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, hendaknya merenungkan dalam dirinya sebelum berucap. Jika memang ada manfaatnya, maka dia baru berbicara. Namun jika tidak, hendaklah dia menahan lisannya.” (laman rumaysho.com)
Di zaman sekarang, ketika orang berkerumun di media sosial, maka jari-jari kita yang digunakan untuk menulis atau memencet tombol-tombol huruf di smartphone juga perlu dijaga. Banyak yang nggak berpikir ulang, share info hoax, atau caci maki di medsos, atau mengumbar aibnya sendiri. Waspadalah dan berhati-hatilah, Bro en Sis.
Menutup aib
Betul. Tutup rapat, jangan diumbar. Nggak perlu dan nggak penting, kok. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa menutupi aib seorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR Muslim)
Maksud hadits ini, kalo ada aib yang nggak dikenal di hadapan manusia lainnya alias cuma dia doang yang melakukan tapi kita tahu karena memergoki nggak sengaja, maka sebaiknya yang berbuat maksiat ini dinasihati. Adapun untuk aib yang dilihat langsung, maka segera untuk diingkari sesuai kemampuan. Ini aib diri seorang muslim yang kita tahu dia baik, cuma pada saat itu dia khilaf.
Gimana kalo yang kita tahu pelakunya adalah orang yang udah dikenal luas kefasikannya dan terbiasa maksiat? Kalo kondisinya kayak gini sih maka boleh dibongkar aibnya dan tidak ditutupi. Misalnya para koruptor, atau orang liberal yang sudah jelas memberikan pernyataan yang menghina Islam dan kaum muslim, maka pendapat dia tentang hal itu harus dibongkar. Kudu dijelaskan kepada masyarakat bahwa cara pandang orang tersebut sesat dan menyesatkan.
Jadi, kalo ada orang yang terkenal selalu berbuat maksiat dan sudah banyak orang yang mengetahui maksiatnya, bahkan sudah sering dinasihati namun masih juga melakukan maksiat, maka dia sebenarnya sedang mengumbar aibnya sendiri yang akhirnya diketahui banyak orang. Kita boleh menjelaskan kepada orang lain agar tidak mencontoh perilaku orang tersebut.
‘Abdullah Al Muzani mengatakan, “Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.” (dalam Hilyatul Awliya’, Abu Nu’aim al-Ashbahani, Mawqi’ al-Waraq, 1/310, dinukil dari laman rumasyho.com)
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Nasihat ini makjleb banget. Jadi kita perlu sibuk memikirkan aib diri kita ketimbang mencari tahu aib orang lain, apalagi jika kemudian menyebarkannya lagi. Islam mengajarkan agar kita menutup aib diri kita dan juga aib orang lain. Jangan tergoda untuk mengumbarnya ke publik, dengan alasan apa pun.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) “Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah, kekal, dan Maha Penutup, Dia mencintai rasa malu dan sikap sitru (menyembunyikan aib)” (HR Abu Dawud dan Nasai)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya), “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap ummatku diampuni kecuali mujaahir (orang yang membuka aib sendiri), dan termasuk perbuatan membuka aib, seperti seorang hamba yang melakukan sebuah perbuatan pada malam hari kemudian keesokan harinya ia berkata, ‘Wahai, fulan! Tadi malam aku telah melakukan ini dan itu,’ padahal malam harinya Allâh menutupi perbuatannya, akan tetapi keesokan harinya ia membuka penutup yang Allah telah berikan.” (HR Muslim)
Ada nasihat menarik dari Syaikh Fudhail bin Iyadh rahimahullah, “Sesungguhnya Mukmin itu akan senantiasa menutupi dan menasihati; sedangkan orang munafik dan pendosa senantiasa akan membuka aib serta mencela.”
Yuk, jaga jari dan lisan di medsos atau di dunia nyata, agar tak mengumbar aib sendiri maupun aib saudara sesama muslim. Berpikir sebelum bertindak. Jangan sampai menyesal di kemudian hari. [O. Solihin | IG @osolihin]
Ketika malu sudah dicabut, tidak bisa membedakan aib dan yang bukan, naudzubillahimindzalik