Friday, 26 April 2024, 03:36

gaulislam edisi 644/tahun ke-13 (29 Jumadil Akhir 1441 H/ 24 Februari 2020)

Sobat gaulislam, alhamdulillah bisa ketemu lagi ya dengan buletin kesayangan kamu ini. Eh, bener sayang nggak, sih? Hehehe.. kayak nggak pede. Oya, kenapa edisi kali ini bahas tema dengan judul ini? Hmm.. mestinya kamu udah bisa nebak ke mana arah obrolannya. Kira-kira ke mana, coba? Ya, kita akan bahas setidaknya bahwa pejuang itu beda banget dengan pecundang. Definisinya aja beda kok. Mau tahu?

Begini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI), pejuang adalah orang yang berjuang atau bisa juga berarti prajurit. Lalu bagaimana dengan pecundang? Masih menurut KBBI, artinya adalah yang kalah atau dikalahkan. Tuh, beda banget kan? Eh, kan pejuang juga bisa kalah dalam perjuangannya, apakah juga akan berarti jadi pencundang? Nanti insya Allah kita bahas, ya.

Jadi singkat kata, pejuang itu jelas bukan pecundang. Lalu, pecundang kayak gimana?

Pejuang tak kenal menyerah

Sebelum menjelaskan panjang lebar istilah dan karakter pecundang, saya akan sedikit tegaskan pengertian dan karakter pejuang, yang, sepertinya sudah banyak kamu ketahui.Ya, pejuang identik dengan mereka yang punya cita-cita atau idealisme, punya ambisi, punya prinsip, punya cara untuk meraih harapan dan mimpinya, dan seabrek istilah positif lainnya yang menunjukkan kualitas karakter hebat seorang pejuang.

Kamu mestinya tahu, kan gimana hebatnya para pejuang kemerdekaan? Betul. Sekarang aja kalo kita mau nyemangati teman kita, suka pake istilah “semangat 45”. Mengapa? Karena tahun tersebut ikon perjuangan. Ikon revolusi fisik. Luar biasa. Itu yang kita tahu dari sejarah. Betul apa bener?

Bagaimana dengan pejuang keluarga? Sudah pasti identik dengan seseorang yang sangat peduli dengan keluarganya. Perhatian yang dicurahkannya demi keluarga mengantarkannya menjadi orang yang berjuang mengupayakan nafkah bagi keluarganya. Tentu, mereka umumnya laki-laki, karena juga sebagai kepala keluarga. Mengupayakan nafkah untuk istri dan anaknya.

Oya, dalam kondisi tertentu, bisa juga pejuang keluarga adalah seorang anak. Misalnya, karena ayahnya sudah tiada atau ayahnya sakit parah sehingga tak memungkinkan mengupayakan nafkah keluarga. Maka, anak yang sudah memiliki kemampuan untuk memperjuangkan terpenuhinya nafkah keluarga, dia juga disebut pejuang. Biasanya orang model gini, peduli. Tidak egois. Lebih bertanggung jawab. Ya, kamu bisa lihat sendiri di sekitar kamu.

Para pejuang itu, umumnya tidak kenal menyerah. Babak belur dalam mengupayakan perjuangan tak lantas membuatnya lemah bin letoy. Nggak bakalan. Berjuang sampai titik darah yang penghabisan. Artinya, seandainya kalah pun, tetapi mereka sudah berusaha secara optimal sekemampuannya. Karakternya lebih kuat. Komitmennya lebih teguh, dan tanggung jawabnya lebih bagus.

Silakan kamu bisa eksplor sendiri gimana kondisi para pejuang di sekitar tempat tinggalmu. Mereka yang berjuang untuk menafkahi keluarga, berjuang untuk mendapatkan hasil terbaik dalam belajar atau pekerjaan. Intinya, mereka adalah orang-orang yang tak mudah menyerah, bahkan terkategori tak kenal menyerah.

Siapa saja para pecundang?

Sobat gaulislam, coba kita bahas ya tentang istilah ini. Menurut KBBI kan sudah ya, yaitu mereka yang kalah atau dikalahkan. Bagaimana dengan pengertian di lapangan atau yang dipahami di masyarakat? Banyak ragam, juga sih. Iya. Misalnya ada yang mendefinisikan bahwa pecundang itu nggak punya uang, nggak punya pekerjaan, tidak memiliki prinsip hidup, nggak menghormati orang lain, tidak memiliki integritas, dan lain sebagainya. Intinya, the loser. Duh, gimana gitu kesannya, ya.

 Oya, berikut ini sebagian ciri yang dimiliki oleh para pecundang. Saya rangkum dari beberapa informasi yang bertebaran di internet. Para pecundang umumnya nggak memiliki integritas. Apa itu integritas? Sederhananya, integritas adalah apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan semuanya selaras alias sesuai. Bener banget, emang seharusnya begitu, kan? Iya, berarti kalo nggak punya integritas artinya yang dipikirkan, yang dikatakan, dan yang dilakukan semuaya beda-beda. Aneh yang punya bapak ajaib alias aneh bin ajaib kalo begitu.

Lalu ciri apa lagi? Hehehe… biasanya para pecundang itu “cemburu tanda tak mampu”. Kerjaannya ya gosip en fitnah. Kok bisa? Ya iyalah, gosip alias ghibah bukan saja tidak bermanfaat, tapi juga dosa. Fitnah lebih bahaya lagi. Nyeberin berita bohong untuk menjelekkan orang lain. Padahal, fokus saja pada pengembangan diri. Perbaiki diri, dan raih apa yang ingin diraih. Cara meraihnya pun dengan cara yang benar dan baik. Tapi, para pecundang tak melakukan hal itu. Sebaliknya, kecemburuan atas keberhasilan orang lain dilampiaskan dengan gosip dan fitnah. Dih, cemen banget, sih!

Oya, kalo kamu ternyata miliki sikap mental yang pesimis (bahkan sampai tingkat kronis), waspadalah. Itu mental para pencundang. Tak memiliki gairah untuk meraih harapan atau mimpi. Ada kendala dikit, melempem. Mewek sambil nyalahin keadaan. Lihat orang lain maju, bisa sekolah bisa kuliah, lalu mengutuki diri sendiri bahwa dirinya tak bisa sukses karena dari keluarga miskin, dari lingkungan yang kurang pendidikan. Ah, itu sih alesan aja. Kalo kata Tere Liye, hidupmu kebanyak drama. Belum berbuat aja udah males dan pesimis. Itu bukan karena keluargamu miskin, tapi mentalmu yang miskin. Begitu sindir Tere Liye. Ada benarnya juga sih. Iya.

Tunjukkan keseriusan dengan berusaha sekuat kemampuan. Pelihara harapan, jangan betah dibelenggu sikap pesimis. Betul apa bener?

Eh, ini ada juga lho ciri mental pecundang, tidak peduli dengan orang di sekitarnya (termasuk lingkungannya). Misalnya nih, buang sampah sembarangan, lebih mementingan diri sendiri, nggak peduli kesulitan orang lain, kalo mengendarai kendaraan ugal-ugalan, knalpot bising, dan ragam ketidakpedulian lainnya. Menyedihkan.

Ada lagi nggak ciri para pecundang? Ada, yakni nggak punya ambisi. Hidup hanya ikut arus aja. Duh, jangan sampe deh, biasanya yang ikut arus sungai itu kalo nggak tinja, ya sampah. Punya ambisi membuat kita bergairah dan bergerak untuk meraih suatu impian atau harapan. Beda kalo nggak punya ambisi. Nyantai, semaunya, malas. Kenapa? Karena nggak punya tujuan dan target yang merupakan perwujudan dari ambisi.

Nah, ini ciri yang nggak kalah parah, Bro en Sis. Apa itu? Para pecundang biasanya nggak bisa atau malah nggak mau menghargai diri sendiri. Kok, bisa ya? Ya, justru itu masalahnya. Kalo para pejuang kan memiliki visi dan misi yang jelas. Sehingga setiap tahapan langkah yang dicapai betul-betul dicatat dan dijadikan pijakan berarti bagi perjalanan berikutnya. Sementara para pecundang, menghargai diri sendiri saja ogah. Catet, ya!

Para pecundang juga biasanya mudah menyerah dan menutup diri dari pengetahuan. Mentalnya rapuh, tapi ogah mencari pengetahuan itu memperbaiki kualitas diri. Merasa cukup dengan pengetahuan yang sudah didapat walau sedikit. Selain itu, ciri lainnya tidak berani mengambil tanggung jawab dan juga iri dengan keberhasilan orang lain. Wah, kalo semuanya ada dari awal ditulis ciri- ciri pecundang, berarti lengkap sudah penderitaan tersebut. Apa yang bisa diharapkan dari sikap mental pecundang?

Padahal, sebagai muslim jelas kita harus lebih optimis, punya harapan, idealisme, tanggung jawab, integritas, peduli, empati, berani mengambil tanggung jawab, menghindari hal-hal yang sia-sia, terus membuka diri dengan pengetahuan, serta mengapresiasi keberhasilan orang lain. Semoga kita semua terhindar dari mental, sikap, dan karakter para pecundang. Insya Allah.

Jadilah muslim pejuang tangguh

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Hati-hati, jangan sampai mengalami “efek pecundang”. Apa itu “efek pecundang”? Kondisi ketika suatu kegagalan kemudian menyebabkan pusaran menuju dasar jurang. Mengalami kekalahan memang bisa sangat menggoyahkan.

Misalnya, dalam dunia satwa, ketika hewan-hewan percobaan psikologi berulangkali gagal untuk menyelesaikan suatu tugas, maka mereka mengalami hal yang dikenal sebagai “ketidakberdayaan yang dipelajari” sehingga hewan-hewan itu gagal mengambil kesempatan bahkan ketika kesempatan itu datang.

Kesalahan berulang juga dapat meruntuhkan kepercayaan diri seseorang dan membuat mereka merasa tidak berdaya. Bukan hanya itu, para penonton di luar kemudian dapat memandang orang atau kelompok gagal seakan-akan beracun. (liputan6.com, 30 April 2016).

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Memelihara dan meningkatkan keimanan kepada Allah Ta’ala. Nah, dengan apa memelihara dan meningkatkan iman? Tentu, dengan ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS al-Ahzab [33]: 22)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara tanda kesempurnaan iman seseorang ditunjukkan dengan kebagusan akhlak dan sikap lemah lembut pada keluarga.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)

Setelah itu apa? Istiqomah. Istiqomah itu berat memang. Kalo pengennya ringan ya istirahat (hehehe…). Kamu tahu kan artinya istiqomah? Ya, terus berada di jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (QS al-Ahqaaf [46]: 13)

Insya Allah, dengan bekal iman dan istiqomah, maka mestinya seorang muslim hidupnya penuh dengan keyakinan akan pertolongan Allah Ta’ala, optimis, punya harapan yang besar meraih kehidupan terbaik di dunia dan akhirat. Semua sifat para pecundang yang udah disebutin tadi nggak bakalan ada dalam diri seorang muslim sejati. Bahkan akan tumbuh karakter muslim pejuang tangguh dalam kehidupan sehari. So, emang beda antara pejuang dan pecundang. Tentu saja, pejuang sejati, bukanlah pecundang mutlak. Berbeda jauh.

Kalo pun seandainya ditakdirkan mengalami kegagalan, nggak bakalan melow sepanjang hari, apalagi sepanjang hayat. Terima kenyataan, lalu bersabar.

Dari Shuhaib radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR Muslim, no. 2999)

Nah, kamu tentu mau jadi muslim pejuang yang tangguh, kan? Dan, yang pasti nih, jangan mau jadi pecundang! [O. Solihin | IG @osolihin]