Wednesday, 17 April 2024, 05:40

gaulislam edisi 782/tahun ke-16 (21 Rabiul Awwal 1444 H/ 17 Oktober 2022)

Eh, gaulislam beneran nih mau bahas politik? Iya, beneran. Emang kenapa? Remaja juga butuh informasi seputar ini, lho. Bahkan sebenarnya, kalo ngomongin soal musik, soal pergaulan remaja, pacaran, urusan cinta, fenomena sosial, dampak dari kenaikan harga kebutuhan pokok, soal idola remaja, dan masih banyak lagi, itu semua masih dalam bahasan politik. Beneran. Politik itu bukan hanya identik soal kekuasaan dan aktivitas mengelola negara yang kita bayangkan seperti adanya partai, adanya penguasa, sistem pemilu, milih orang yang akan jadi pemimpin, dan sejenisnya. Nggak cuma itu. Namun, politik itu menyangkut seluruh hajat hidup rakyat, manusia secara umum. Adanya negara dan pemimpin adalah untuk memastikan hajat hidup seluruh rakyat terjamin dan terpenuhi.

Salah besar kalo kamu berpikir bahwa remaja nggak boleh ngomong politik. Salah juga kalo orang tua meminta anak-anak remaja jangan ngomong politik atau terjun dalam politik. Mengapa salah? Sebab, politik itu justru harus diupayakan. Bukan sekadar diobrolkan dalam teori. Gini aja deh, kalo kamu sudah berpikir secara politik adalah jika kamu mampu menganalisis suatu masalah. Menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Lalu berupaya mencari solusinya. Jadi, jangan malah jadi bebek yang siap ngikut ke mana saja. Nggak, lah.

Contoh aplikasinya gini. Ibumu nggak masak nasi di rumah. Lalu, kamu tanya kenapa nggak masak nasi. Ibu menjawab bahwa tak ada beras. Nah, mestinya kamu bisa bertanya lebih lanjut, apakah karena tak ada uang untuk beli beras atau harganya mahal, atau hal lain. Ini bisa banyak cerita dari sekadar tak bisa masak nasi. Bisa jadi ada uang, tetapi uangnya ngepas. Sementara harga beras mahal, akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Padahal, kebutuhan bukan cuma beras. Percuma juga nanti beli beras, tetapi gas elpijinya habis dan uang tak cukup untuk beli. Uang gajian ayahmu sudah ludes di tanggal tua, mau pinjam tetangga malu, mau usaha yang lain terpentok keahlian. Ingat, lho. Ini baru di rumahmu. Bagaimana dengan rumah tetanggamu, bagaimana dengan rumah-rumah di seluruh negeri, yang terdampak kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak. Ini bicara rakyat kebanyakan yang memang tak mampu. Kalo rakyat yang mampu, cerita model gini bisa jadi nggak ada. Sebab, mereka nggak pernah merasakan kesulitan ekonomi.

Jadi, ujung-ujungnya memang kita akan berhadapan dengan urusan orang banyak. Ini juga ngomongin politik, lho. Itu sebabnya, bisa jadi ini obrolan sehari-hari kita. Nggak usah kaget. Cuma, memang harus diakui biasanya kalo ngomongin politik itu selalu diidentikkan dengan aktivitas partai, mengkritisi kebijakan negara, cara memilih pemimpin, mengapa harus adil dan lain sebagainya. Itu benar, nggak salah. Kesimpulannya, urusan hajat hidup orang banyak itu harus ditanggung negara. Bagaimana cara memenuhi dan menjaminnya, pemimpin wajib tahu. Termasuk mana yang prioritas dan mana yang bisa ditunda dulu.

Politik menurut Islam

Dalam kitab Mafahim Siyasiyah dijelaskan bahwa politik adalah ri’ayatusy syu’unil ummah, alias pengaturan urusan ummat. Adapaun pengaturan urusan ummat tidak melulu urusan pemerintahan seperti sangkaan banyak orang, melainkan termasuk di dalamnya aspek ekonomi (iqtishadi), pidana (uqubat), sosial (ijtima’i), pendidikan (tarbiyah) dan lain-lain.

Pengen bukti? Nah, Islam telah memberikan gambaran yang utuh dalam masalah ini, bahkan sejarah memperlihatkan selama lebih dari 14 abad, kaum muslimin hidup dengan menerapkan aturan Islam. Tidak pernah ada satu masa pun kaum muslimin hidup dengan aturan selain Islam. Catet nih, Bro! Terakhir kaum muslimin hidup dalam naungan Islam (yang diterapkan sebagai ideologi negara) adalah di tahun 1924, tepatnya tanggal 3 Maret tatkala Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki alias Konstantinopel diruntuhkan oleh kaki tangan Inggris keturunan Yahudi, Musthafa Kemal Attaturk.

Nah, dialah yang mengeluarkan perintah untuk mengusir Khalifah Abdul Majid bin Abdul Aziz, Khalifah (pemimpin) terakhir kaum muslimin ke Swiss, dengan cuma berbekal koper pakaian dan secuil uang. Sebelumnya Kemal mengumumkan bahwa Majelis Nasional Turki telah menyetujui penghapusan Khilafah. Sejak saat itulah sampai sekarang kita nggak punya lagi pemerintahan Islam. Menyedihkan bukan? Ini tanggungjawab kita untuk menegak­kannya kembali, Bro en Sis!

Well, kok bengong? Atau sedih? Soalnya memang itulah gambaran kita saat ini. Coba dari dulu memahami istilah politik seperti ini. Pasti nggak bakalan bengong or bingung kayak sekarang. Tapi, alhamdulillah, sekarang kamu mulai paham sedikit demi sedikit tentang politik dalam pandangan Islam.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Nah, itu baru definisi politik, lho. Sekarang saya jelaskan sedikit bahwa aktivitas politik itu memerlukan kesadaran politik. Waduh, apa pula itu? Nggak usah lebay. Ini penjelasannya. Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab al-Fikru al-Islamiy menyebutkan bahwa kesadaran politik (wa’yu siyasi) haruslah terdiri dari dua unsur. Pertama, kesadaran itu haruslah bersifat universal atau mendunia (internasional). Bukan kesadaran yang bersifat lokal semata. Tengok dong saudara-saudara kita di Palestina, Myanmar, Suriah, Afghanistan, Irak, atau saudara kita di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya. Kita harus tahu dan peduli dengan keadaan mereka. Apakah sekarang lagi menderita atau bahagia. Harus sampai ke situ, Bro! Itulah namanya mondial alias mendunia.

Jangan bingung, fakta kemarin aja saat ratusan suporter Aremania meninggal dunia pada tragedi di Stadion Kanjuruhan, para suporter sepak bola di Eropa juga tahu dan peduli. Mereka bahkan berempati atas kejadian itu. Selain membentangkan spanduk berisi dukungan dan kepedulian, para pemain yang akan berlaga di pertandingan liga Eropa juga mereka mengheningkan cipta selama semenit sebelum pertandingan digelar. Tuh, urusan bola aja banyak yang sadar. Kejadian di satu negara, dirasakan juga oleh para suporter di banyak negara. Mestinya, urusan Islam dan kaum muslimin lebih bikin sadar lagi bagi muslim lainnya meski berbeda negara.

Nah, unsur yang kedua adalah kesadaran politik yang dimiliki harus berdasarkan pada sudut pandang tertentu alias zawiyatun khosshoh. Dengan kata lain kita harus bertindak subyektif dan obyektif dalam menilai peristiwa politik yang terjadi. Lho, gimana sih, subyektif tapi sekaligus obyektif? Gini Bro, maksudnya subyektif karena memang harus didasari pada sudut pandang Islam. Obyektif artinya kunti alias tekun dan teliti dalam ‘membaca’ peristiwa yang terjadi.

Ketelitian dan keakuratan memahami peristiwa politik, mutlak harus kamu miliki. Kenapa? Sebab, banyak peristiwa politik yang sering dikamuflase alias diputar-balikkan faktanya dan kerap menutup-nutupi fakta yang sesungguhnya. Banyak kasus di sini yang ditutupi, dihilangkan barang bukti kejahatan mereka seperti di kasus pembunuhan terhadap 6 pemuda dari laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta Cikampek, atau kasus Ferdy Sambo yang membunuh ajudannya sendiri, yang sampai kini dramanya belum selesai juga. Kamu bisa lihat juga gimana faktanya bahwa tak ada satu pun pihak yang mau bertanggung jawab atas tragedi hilangnya ratusan nyawa di Stadion Kanjuruhan Malang awal bulan ini. Iya, kan?

Belum lagi kalo itu kasus menimpa umat Islam, yakni yang jadi korban umat Islam. Baik di negeri ini, maupun di negeri yang jauh dimana kaum muslimin menjadi minoritas. Kamu bisa lihat sendiri gimana penanganan pihak berwajib terhadap kasus yang sama tetapi pelakunya berbeda. Selama ini langsung eksekusi jika pelakunya adalah orang yang melawan rezim ini. Namun, akan dilambat-lambatin dan ditunggu pada lupa kalo pelakunya mereka yang merupakan ‘piaraan’ rezim. Begitulah faktanya. Ketidakadilan dengan sangat telanjang diperlihatkan.

Itu sebabnya, kalo kamu punya kesadaran politik, fakta dari banyak peristiwa bisa kita nilai dengan sudut pandang seorang muslim. Obyektif terhadap fakta harus, tetapi sudut pandang utama adalah sebagai muslim, jadi memang harus subyektif.

Jati diri muslim

Sobat gaulislam, kalo ngomongin soal identitas mestinya kita bangga sebagai muslim. Itulah identitas kita. Kalo kamu bingung menentukan identitas diri kamu sendiri, itu namanya aneh bin ajaib. Maka, sebenarnya dalam berpolitik pun para pelakunya pasti memiliki indentitas masing-masing. Itu hal lumrah. Maka, kalo ada yang memberikan stigma terhadap seseorang dengan penyebutan “Bapak Politik Identitas”, misalnya, sebenarnya orang tersebut juga sedang menggunakan identitas dirinya untuk menyematkan identitas pada orang lain. Iya, kan?

Kalo nggak, ngapain ada yang teriak, “Saya Pancasila”? Itu identitas juga, lho. Polisi punya identitas, tentara punya identitas, politikus dari berbagai partai politik juga jelas identitasnya. Sesuai ‘jiwa’ institusi atau partainya masing-masing. Jadi, kenapa mesti menyematkan kepada orang yang dibencinya dengan sebutan tadi?

Bro en Sis, kamu perlu tahu bahwa mereka yang membenci Islam sebenarnya sedang menunjukkan ketidaksukaannya kepada Islam dan kaum muslimin. Mereka menyematkan istilah politik identitas itu kepada umat Islam, atau kepada orang yang berjuang dengan Islam atau dekat dengan kaum muslimin. Jadi, mereka itu sejatinya nggak suka dengan identitas Islam. Nggak suka dengan orang yang memperjuangkan Islam. Di situ poinnya. Cuma mereka nggak berani secara langsung, karena memang pengecut. Hanya berkoar-koar menggunakan label “politik identitas” dengan narasi “jangan bawa-bawa politik identitas”. Padahal yang mereka maksud adalah: “jangan bawa-bawa identitas Islam”. Hadeuuh… panik kayaknya, takut Islam yang menang, khawatir kaum muslimin sadar dan bangkit.

Itu sebabnya, kita sebagai muslim, wajib menunjukkan identitas kita di hadapan banyak orang. Supaya jelas pula posisi dan keberpihakan kita. Oh, berarti Islam tetap harus jadi identitas kita sebagai Muslim? Tentu saja, bukan hanya harus, tetapi wajib. Apalagi seluruh manusia yang lahir sejak awal sudah muslim. Beneran, lho. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).’” (QS al-A’raaf [7]: 172)

Dari kedua dalil ini, al-Quran dan Hadits, maka sebenarnya sebagai muslim kita mestinya sudah tahu jati diri kita yang sesungguhnya. Bukan dari bangsa mana tempat kita dilahirkan lalu harus mengikuti kebiasaan bangsa tersebut, tetapi wajib mengikuti kebiasaan Islam. Mending kalo kebiasaan bangsa tersebut benar menurut Islam, gimana jika bertentangan dengan Islam? Oya, perlu ditekankan bahwa hanya Islam yang dipilih dan dijadikan sebagai pedoman hidup. Islam yang dipahami sebagai akidah dan syariat, yakni Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara. Bukan yang lain. Setuju? Wajib! Inilah identitas kita sebagai muslim. [O. Solihin | IG @osolihin]