Wednesday, 24 April 2024, 10:47

gaulislam edisi 677/tahun ke-14 (24 Shafar 1442 H/ 12 Oktober 2020)

Edisi perdana di tahun penerbitan yang ke-14 (atau edisi ke-677 sejak pertama kali terbit) ini sengaja cuma dikasih judul satu kata. Ya, ini terkait pekan kemarin aksi demo buruh dan mahasiswa plus penyusup (ada yang malah sengaja disusupkan intelijen) yang bikin rusuh. Emang ada? Hehehe… mereka yang di lapangan lebih tahu dan sudah jadi rahasia umum, kok. Malah ada teman di sebuah grup WhatsApp ngasih komen: Kalo tahun 1998, Jakarta terbakar. Provokator menyelinap ikut bakar-bakar. Tujuan: Pak Harto lengser. Kalo tahun 2020. Jakarta tebakar. Provokator menyelinap ikut bakar-bakar. Tujuan: ini demo anarkis, menjatuhkan pemerintah yang sah.

Eh, siapa yang zalim? Dalam hal ini penguasa. Siapa yang dizalimi? Rakyat, khususnya para buruh dengan undang-undang yang bikin susah. Kok bisa? Ya, jangan tanya saya. Hihihi… kok jadi kayak seseorang yang kalo ditanya jawabnya gitu, ya? Di stiker WhatsApp juga udah beredar luas dengan gambar si dia. Hmm….

Sobat gaulislam, sekadar tahu aja ya, kezaliman yang dilakukan penguasa bukan sekarang aja, bukan baru-baru kemarin aja. Ini sudah lama. Bahkan sebenarnya bukan cuma di negeri kita. Di banyak negeri muslim dengan pemimpinnya muslim juga banyak terjadi kezaliman. Belum lagi yang emang kaum muslimin posisinya sebagai minoritas, kezaliman terang-terangan dipertontonkan. Eh, kok kayaknya ngeri ya? Ya, gitu deh. Mau diungkap data dan faktanya? Ah, sudah banyak silakan baca aja beberapa edisi sebelumnya di buletin kesayangan kamu ini. Masukkin aja kata kunci di kolom pencarian website gaulislam dot kom ya: muslim India; muslim Rohingya; muslim Palestina; muslim Irak; muslim Afghanistan; muslim Uyghur; dsb. Insya Allah akan ditampilkan artikelnya. Coba aja, ya!

Persekusi dan stigma terhadap beberapa ulama dan kelompok kaum muslimin juga udah biasa terjadi di negeri kita. Tak segan pula memberikan ancaman dan bahkan langsung eksekusi. Tuduhan teroris, memfitnah Islam sebagai agama penebar terorisme, dan bahkan menyematkan label hinaan juga udah biasa di negeri ini. Jelaslah, ini kezaliman. Anehnya ada yang dilakukan juga oleh kaum muslimin tertentu kepada kaum muslimin lainnya. Ada kelompok yang pro rezim dan ada yang antirezim. Bentrokan di media sosial udah biasa, bahkan di dunia nyata juga sering terjadi. Umat Islam dizalimi oleh orang kafir dan orang munafiq. Harus segera sadar dan siap melawan. Mestinya sih begitu. Jangan mingkem bae.

Dimiskinkan

Meski di negeri ini umat Islam mayoritas, tetapi nasibnya tak lantas layak bahagia. Ada saja upaya untuk memberikan berbagai kesulitan dan kesusahan. Dibuat susah. Ada memang faktor kemiskinan sebagai takdir, tetapi ketika kezaliman yang dilakukan penguasa menyasar kaum lemah dan faqir, maka bersiaplah menghadapi perlawanan yang mungkin saja gelombangnya tak pernah terbayangkan.

UU Cipta Kerja yang kemarin rame ditolak, bahkan didemo oleh saudara kita dari kalangan buruh dan mahasiswa, dinilai merugikan rakyat dan cenderung menguntungkan para pengusaha. Apalagi ada data hasil penelitian bahwa banyak anggota DPR yang sejatinya adalah pebisnis. Bukankah ini akan menyuburkan oligarki? Tahu apa itu oligarki? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), bermakna pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Tuh, kondisi seperti ini pasti merugikan rakyat. Sebab, penguasa (termasuk di dalamnya, wakil rakyat) dengan pengusaha bisa kongkalingkong alis sembunyi-sembunyi alias nggak jujur dalam memberlakukan kebijakan untuk rakyat yang berpotensi menyesengrayakan, eh, menyengsarakan (kok jadi kayak si bapak itu ya? Hehehe…). Ngeri!

Duh, kok jadi inget lagunya Bang Haji Rhoma Irama yang judulnya “Indonesia” (aduh, ketahuan deh jadul banget dan usianya berapa nih yang nulis). Gini, ada lirik lagu tersebut yang dinyanyikan isinya ini:

Seluruh harta kekayaan negara/Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya/Namun hatiku selalu bertanya-tanya/Mengapa kehidupan tidak merata.

Yang kaya makin kaya/Yang miskin makin miskin/Yang kaya makin kaya/Yang miskin makin miskin.

Negara bukan milik golongan/Dan juga bukan milik perorangan/Dari itu jangan seenaknya/Memperkaya diri membabi buta.

Masih banyak orang hidup dalam kemiskinan/Sementara ada yang hidupnya berlebihan/Jangan dibiarkan adanya jurang pemisah/Yang makin menganga antara miskin dan kaya.

Tuh, berarti udah dari dulu kondisi model gini. Lagu berjudul “Indonesia” yang dinyanyikan Bang Haji Rhoma Irama itu direkam tahun 1980, dan dirilis tahun 1981. Itu album Soneta Volume 11. Coba hitung udah berapa lama kondisi tersebut sampai sekarang. Ada 40 tahun kan? Nah, bisa jadi lebih dari itu juga kok. Emas di Papua aja mulai ditambang oleh perusahaan asing bernama Freeport McMoran tahun 1973, berdasarkan Kontrak Karya tahun 1967. Ngeri ya, berarti udah lama juga kondisi kayak gini berlangsung. Nah, itu kamu tahu.

Allah mengharamkan kezaliman

Dari Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau meriwayatkan dari Allah ‘azza wa Jalla, sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi. Wahai hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya.

Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka hendaklah kalian minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kalian semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kalian minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa pada waktu malam dan siang, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan dapat membinasakan-Ku dan kalian tak akan dapat memberikan manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.

Wahai hamba-Ku, jika orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin yang tinggal di bumi ini meminta kepada-Ku, lalu Aku memenuhi seluruh permintaan mereka, tidaklah hal itu mengurangi apa yang ada pada-Ku, kecuali sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke laut.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya inilah amal perbuatan kalian. Aku catat semuanya untuk kalian, kemudian Kami akan membalasnya.

Maka barang siapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah bersyukur kepada Allah dan barang siapa mendapatkan selain dari itu, maka janganlah sekali-kali ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR Muslim)

Dalam hadits ini, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.”

Dalam laman rumaysho.com dijelaskan, mengutip perkataan Syaikh Abdul Muhsin dalam Fath al-Qawi, “Kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Allah telah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya dan menghalanginya (kezaliman tersebut) dari diri-Nya. Padahal Allah itu memiliki qudrah (kemampuan), namun tidak ada kezaliman dari Allah selamanya. Hal ini disebabkan kesempurnaan keadilan Allah Ta’ala.”

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya.” (QS al-Mukmin [40]: 31)

Firman-Nya (yang artinya), “Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menzalimi hamba-hambaNya.” (QS Fushshilat [41]: 46)

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun.” (QS Yunus [10]: 44)

Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.” (QS an-Nisaa’ [4]: 40)

Kezaliman itu ada dua. Pertama, menzalimi diri sendiri, yang paling parah adalah berbuat syirik. Sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’”. (QS Luqman [31]: 13)

Kedua, seorang hamba menzalimi orang lain. Dalam hadits disebutkan (yang artinya), “Sesungguhnya darah, harta, kehormatan di antara kalian itu haram sebagaimana haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (HR Bukhari, no. 67 dan Muslim, no. 1679)

Apa yang harus kita lakukan?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Akan ada sepeninggalku para pemimpin yang tidak mengambil petunjuk, dan sunnahku. Akan muncul pula orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya: “Apa yang harus aku lakukan?”. Beliau menjawab: “(Hendaknya) kalian dengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggung dan merampas hartamu, tetaplah dengar dan taat.” (HR Muslim)

Hadits ini benar, tapi jangan dilihat dari satu sisi saja sehingga ketika ada kezaliman yang dilakukan penguasa lalu hanya mampu berdiam diri bin bengong alias mingkem bae. Harus ada usaha dong, untuk melawan kezaliman penguasa.

Selain itu, konteksnya juga berbeda. Penguasa yang menerapkan syariat Islam memang harus ditaati, meski melakukan kezaliman tidak boleh memberontak. Namun demikian, ulama tetap tampil untuk melakukan koreksi dan nasihat serta teguran kepada penguasa yang zalim. Seperti yang pernah dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah kepada Khalifah Al-Ma’mun.

Keyakinan beliau kepada Allah Ta’ala dan pemahamannya mengenai agama Islam sempat berlawanan dengan penguasa Abbasiyah semasa hidupnya, Khalifah Al-Ma’mun. Khalifah yang saat itu mulai gandrung pada filsafat pada tahun 212 H, mulai memaksakan pandangannya tentang Al-Quran. Menurut Al-Ma’mun, Al-Quran adalah makhluk.

Para ulama dipaksa untuk sepaham dengan pendapatnya. Imam Ahmad bin Hanbal pun dites oleh khalifah. Bersama sahabatnya, Muhammad ibnu Nuh, sang imam menolak untuk sepaham dengan penguasa. Menurutnya, Al-Quran adalah kalamullah bukanlah makhluk. Ia pun dipenjara akibat keteguhan keyakinannya.

Oya, ini saya dapetin di grup WhatsApp, ada yang nge-share terkait kezaliman penguasa, khususnya seputar kondisi terkini. Saya tulis ulang aja deh, ya. Dicopas, dah (tapi ada yang dibenerin sih ejaan dan tanda bacanya, juga bahasanya). Berikut isinya:

Dalam dinamika kemunkaran dan kezaliman yang merampas hak kaum mustadl’afin dan masyarakat marginal, masih saja ada upaya pembenaran teologis yang menyesatkan umat. Pandangan yang sarat dengan eforia klaim keimanan, namun diam seribu bahasa atas kezaliman dan kemunkaran “konstitusional”. Sekaligus tak peduli dengan penderitaan mereka yang terzalimi. Katanya, tak perlu risau dengan rezekimu yang tak dijamin undang-undang, toh binatang melata sekalipun tetap dijamin oleh Allah Ta’ala.

Pandangan semacam ini termasuk “kalimatu haqqin ur?da bihi-l-bàthil” (pernyataan yang secara verbal benar, namun sesat orientasi). Suatu pandangan yang parsial, pragmentatif, ahistoris, serta mengabaikan “maqàshid syari’ah”, sekaligus tak memiliki empati kemanusiaan (ara’ayta-lladz? yukadzdzibu bi-d-d?n?)

Jika kemenangan atas Romawi dan Persia semata bergantung pada “catatan Langit”, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihissalam dan para sahabat mulia merelakan tumpah darah dan kematian di medan jihad? Kalaulah rizki kaum mustadl’afin (ashnàf tsamàniyah) semata berpangku pada “jaminan Langit”, mengapa pula Abu Bakar ash-Shidd?q radhiallahu ‘anhu, seorang sahabat berperangai lembut, lagi imannya tak tertandingi oleh seluruh umat ini rela mengangkat senjata terhadap kelompok manusia yang enggan membayar zakat meskipun sekadar bernilai seutas tali pengikat unta?

Mari jujur beragama; dan hentikan segala pembenaran dan pembelaan teologis atas kemunkaran dan kezaliman di muka bumi ini.

Saya setuju dengan pernyataan ini. Sip. Jadi gimana? Ya, kezaliman memang wajib dilawan! [O. Solihin | IG @osolihin]