Monday, 29 April 2024, 02:43

gaulislam edisi 731/tahun ke-15 (18 Rabiul Awwal 1443 H/ 25 Oktober 2021)

Baik dan buruk, benar dan salah, terpuji dan tercela adalah bagian dari ragam pertentangan. Ada yang berjuang untuk kebenaran, tetapi juga ada yang semangat berjuang untuk kesalahan. Umumnya orang yang waras adalah para pencari kebaikan, tetapi mereka yang berada di jalur berseberangan dengannya, sepertinya menikmati hidupnya sebagai para pencari keburukan. Bagaimana dengan kamu semua?

Semoga hanya jalan kebenaran dan kebaikan yang kamu tempuh dan perjuangkan. Bukan yang sebaliknya. Memang tak mudah menempuh jalan kebaikan. Selalu ada tantangan dan juga godaan. Tantangan yang harus ditaklukkan adalah bahwa jalan menuju kebaikan dan memperjuangkan kebenaran itu berat. Seberat apa? Sulit diukur, Bro en Sis. Namun, kamu bisa ngebayangin gimana rasanya dianggap asing sendiri, dinilai berbeda dengan kebanyakan orang yang hidup di zaman sekarang, yang umumnya hanya fokus pada urusan dunia.

Saat ini, mungkin kamu bisa melihat dan merasakan sendiri, ya. Ada teman kamu yang hobinya melanggar peraturan. Bukan dia tidak tahu bahwa ada peraturan, bahwa ada batasan. Cuma, ya dia menganggap remeh saja semua aturan yang ada. Nggak peduli. Bukan tidak tahu bahwa itu salah, tetapi dia tak peduli kalo kesalahan yang dilakukannya akan berdampak bukan saja pada dirinya, tetapi juga orang lain. Misalnya aja nih, buang sampah sembarangan. Kalo dia mengulanginya terus dan terus, ya kategorinya tidak peduli, bukan tidak tahu bahwa itu salah. Level berikutnya kalo nggak ada yang menghentikan, jadi kebiasaan. Kebiasaan buruk, jelas akan berdampak buruk.

Selain urusan sampah, pasti kamu tahu juga sih soal ini. Ya, kebiasaan merokok. Kebiasaan buruk ini, bukan saja akan merugikan dirinya sendiri, tetapi berpotensi membahayakan oran lain. Gimana nggak, kalo dia sembarangan merokok dengan melakukannya di berbagai tempat, maka risiko polusi asap rokok bakalan merusak lingkungan sekitar dan tentu saja manusia yang di sekitarnya.

Itu baru urusan sampah dan rokok, lho. Belum urusan lainnya, semisal kamu nggak melakukan shalat lima waktu. Padahal kamu udah baligh, yang tentu saja konsekuensinya adalah dosa kalo nggak melakukannya. Sekali saja nggak melakukan udah salah, apalagi jika terus berulang. Ada aja kan orang yang begitu di sekitar kamu. Ngakunya muslim, tetapi shalatnya bolong-bolong, malah ada yang nggak pernah melakukan shalat. Udah gitu, dia merasa enjoy aja.

Memang sih, mungkin aja ada yang karena nggak tahu, tetapi saya sih ragu ya kalo dia benar-benar nggak tahu, apalagi jika sejak lahir udah muslim karena ortunya muslim. Oke deh, anggap saja nggak tahu. Namun, mestinya ada kesadaran untuk mau belajar kalo memang tidak tahu, bukan kemudian merasa ada pembenaran untuk terus melakukan kesalahan. Bener apa betul?

Bagaimana yang nggak mau tahu? Ini lain lagi urusannya, ya. Sudah tahu tetapi melanggar dan bahkan tak mau tahu, saya khawatir itu bagian dari pelecehan terhadap ajaran Islam. Dia memilih jalan keburukan dibanding jalan kebaikan. Ngeri, Bro. Padahal, azab Allah Ta’ala itu sangat berat. Luqman al-Hakim pernah menyampaikan nasihat kepada anaknya, “Kerjakanlah dosa seberapa kekuatanmu menanggung azab Allah, dan laksanakanlah ibadah seberapa butuhnya kamu kepada Allah.”

Sobat gaulislam, saat ini kita sering melihat fakta bahwa banyak banget orang yang berbuat zalim, gemar berdusta, memaki dan mencela, khianat, nggak amanah, dan masih banyak lagi perbuatan buruk lainnya. Meski banyak yang memberikan nasihat, tetapi rupanya belum mempan. Mengapa bisa begitu? Seolah mereka ‘istiqomah’ dalam mencari dan menempuh jalan keburukan. Naudzubillahi min dzalik.

Jangan nekat berbuat buruk

Ada kebaikan, ada keburukan. Ada pahala, ada dosa. Itulah kehidupan. Kita perlu tahu apa itu kebaikan, pun harus tahu apa itu keburukan. Namun, harus dicatat bahwa perlu tahu apa itu keburukan, bukan berarti harus nyebur dalam keburukan tersebut atau memaklumi adanya keburukan. Nggak begitu maksudnya. Kita mengetahui keburukan agar berhati-hati jangan sampai terjerumus dalam keburukan. Contohnya pacaran. Itu adalah keburukan, adalah kemaksiatan.

Allah Ta’ala udah menjelaskan dalam al-Quran sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra [17]: 32)

Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu, begitu semangat mengenali kejelekan, disamping ia juga paham amalan baik. Beliau berkata, “Manusia dahulu biasa bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kebaikan. Aku sendiri sering bertanya mengenai kejelekan supaya aku tidak terjerumus di dalamnya.” (HR Bukhari no. 3411 dan Muslim no. 1847)

Ibnu Taimiyah rahumahullah mengatakan, “Karenanya para sahabat nabi mereka lebih kuat iman dan lebih semangat dalam jihad daripada orang-orang setelah mereka. Itu karena mereka mengenal kebaikan, disamping itu pula mengenal kejelekan. Mereka sangat semangat mengenali kebaikan dan begitu benci pada kejelekan. Karena mereka tahu bagaimana akibat baik dari iman dan amalan shalih, serta akibat jelek dari orang yang berbuat kekafiran dan maksiat.” (Fatawal Kubro, jilid 2, hlm. 341)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Itu sebabnya, karena keburukan atau maksiat bisa membayakan, maka jangan coba-coba untuk melakukannya. Mengenali itu bukan untuk melakukannya, tetapi agar tak terjerumus ke dalamnya. Supaya kita waspada. Agar tak nekat berbuat.

Akibat berbuat maksiat

Di dalam Kitab al-Jawabul Kafi, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah merinci dampak-dampak buruk dari perbuatan dosa dan maksiat terhadap kehidupan seorang hamba baik di dunia maupun di akhirat. Di antaranya:

Pertama, terhalang untuk mendapatkan keberkahan ilmu. Ilmu adalah cahaya yang dinyalakan Allah di dalam hati seorang hamba, dan maksiat mematikan cahaya tersebut.

Kedua, kegelisahan yang dirasakan pelaku maksiat di dalam hatinya, dan hilangnya ketenangan dari dalam hati.

Ketiga, Allah akan mempersulit setiap urusan dalam hidupnya.

Keempat, menimbulkan sifat lemah baik pada agama dan badannya, sehingga pelaku maksiat terasa berat dan malas untuk melakukan ketaatan.

Kelima, maksiat menghilangkan keberkahan umur dan melenyapkan kebaikannya.

Keenam, perbuatan maksiat akan mengundang perbuatan maksiat lainnya, sebagaimana ketaatan akan mengundang ketaatan yang lain.

Ketujuh, maksiat akan menghalangi seseorang dari taubat kepada Allah dan pelaku maksiat akan menjadi ‘tawanan’ bagi syaitan yang menguasainya.

Kedelapan, maksiat yang dilakukan berulang-ulang akan menanamkan rasa cinta terhadap maksiat itu sendiri di dalam hati, sehingga pelaku maksiat akan merasa bangga dengan maksiat yang dia lakukan.

Kesembilan, maksiat akan menghinakan dan menjatuhkan kedudukan seorang hamba di hadapan Tuhannya. Kesepuluh, akibat buruk dari maksiat akan menimpa semua makhluk; manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Kesebelas, maksiat akan melahirkan kehinaan. Keduabelas, maksiat bisa merusak akal fikiran dan menghilangkan kecerdasannya.

Ketigabelas, maksiat akan menutup mata hati, menyebabkan kerasnya hati, dan pelakunya dianggap sebagai orang yang lalai. Keempatbelas, maksiat mendatangkan laknat Allah dan Rasul-Nya. Kelimabelas, maksiat akan menghalangi doa malaikat dan Rasulullah. Keenambelas, maksiat menyebabkan kerusakan, keguncangan, gempa dan musibah. Ketujuhbelas, maksiat bisa mematikan semangat, menghilangkan rasa malu, membutakan mata hati.

Kedelapanbelas, maksiat dan dosa bisa melenyapkan nikmat dan mendatangkan bencana. Kesembilanbelas, maksiat dan dosa akan meninggalkan tatatan masyarakat yang rusak akhlak dan agamanya.

Jangan teruskan keburukan

Sobat gaulislam, kalo ada di antara kamu atau teman kamu yang hobinya maksiat (idih, hobi kok maksiat?), yuk ajak agar meninggalkan maksiat. Jangan teruskan keburukan dan maksiat tersebut. Apalagi kemudian memposisikan diri dan merasa bangga sebagai para pencari jalan keburukan dan kemaksiatan. Jangan. Keburukan bukan untuk dilakukan. Kalo pun kita tahu ada keburukan, tujuannya adalah untuk menghindarinya, menjauhinya. Bukan malah mendekat lalu nekat tetap maksiat. Nggak banget, deh!

Bahkan kita dianjurkan untuk berdoa agar terhindar dari hal-hal buruk yang memang nggak menyenangkan bagi kita. Dikutip dari laman rumaysho.com, Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ALLOHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL ‘AJZI, WAL KASALI, WAL JUBNI, WAL HAROMI, WAL BUKHLI, WA A’UDZU BIKA MIN ‘ADZABIL QOBRI, WA A’UDZU BIKA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT (artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, sifat malas, sifat pengecut, kepikunan, kekikiran, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian).”

Dalam riwayat lain disebutkan, “DHOLA’ID DAIN WA GHALABATIR RIJAAL (Lilitan utang dan laki-laki yang menindas).” (Muttafaqun ‘alaih). Ini ada dalam hadits riwayat Bukhari, no. 6367 dan Muslim, no. 2706.

So, kalo untuk hal-hal tidak menyenangkan diri saja kita dianjurkan untuk berdoa agar terbebas dan terhindar dari semua itu, sebagaimana dalam hadits di atas, maka tentu saja kita nggak boleh terus berbuat maksiat atau melakukan keburukan lainnya. Why? Agar hati kita tenang, dan berharap rahmat dan ampunan Allah Ta’ala. Jangan sampai ajal kamu datang, saat kamu sedang melakukan keburukan dan maksiat. Naudzubillahi min dzalik.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kebajikan itu adalah apa saja yang jiwa merasa tenang dengannya dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah apa saja yang mengganjal di hatimu dan membuatmu ragu meskipun manusia memberi penjelasan kepadamu.” (HR ad-Darimi 2588)

Semoga Allah Ta’ala menjaga kita dari perbuatan buruk, dan jangan mencari keburukan lalu melakukannya. Tetaplah berada dalam kebaikan dan senantiasa mencari kebaikan untuk terus berbuat baik. Menjadi muslim artinya siap menjadi orang baik. Sebab, Islam adalah kebenaran dan juga kebaikan yang akan menyelamatkan di dunia dan di akhirat. Itu sebabnya, siap taat dan setop maksiat! [O. Solihin | IG @osolihin]