gaulislam edisi 941/tahun ke-19 (12 Jumadil Awal 1447 H/ 3 November 2025)
Kamu kayaknya pernah nemu orang yang kalo ngomong soal “logika” tuh kayak paling pintar di dunia. Ngomongnya berat, diksi rumit, kadang diselipin istilah Inggris biar kelihatan smart–padahal isinya muter di situ-situ aja. Malah yang parah, pas udah terlalu sering mikir pakai otak, malah lupa kalo punya hati. Yes, otaknya on, tapi hatinya off. Bahaya banget, tuh!
Banyak remaja zaman sekarang merasa keren kalo bisa debat tentang Tuhan. Ada yang bilang, “Aku realistis aja, nggak mau percaya yang nggak bisa dibuktikan.” Eh, padahal nih, napas yang dia tarik dan hembuskan aja nggak kelihatan, tapi tiap hari dihirup tanpa mikir. Lucu, ya? Otaknya nyala, tapi hatinya gelap.
Islam tuh nggak pernah nyuruh kita matiin logika. Justru al-Quran berkali-kali ngajak manusia buat mikir–cuma bedanya, mikirnya pakai cahaya iman. Bukan asal mikir biar kelihatan keren di tongkrongan digital. Sebab, kalo mikir tanpa iman, itu kayak nyalain GPS tapi sinyalnya ilang–akhirnya nyasar juga.
Remaja dan atheisme
Belakangan ini, entah kenapa, muncul tren baru di kalangan remaja yang bilang, “Gue tuh sekarang udah open-minded… gue nggak percaya Tuhan.”
Waduh, berat banget, Bro en Sis. Padahal belum tentu juga open-minded, kadang cuma open-tab YouTube filsafat terus langsung feeling enlightened. Ada yang merasa keren karena bisa ngomong, “Agama tuh buatan manusia.” Ada yang merasa paling pintar karena bisa ngejelasin alam semesta pakai teori kuantum yang baru dia tonton semalam dari channel luar negeri. Tapi anehnya, ketika ditanya soal siapa yang nyiptain hukum fisika itu, langsung jawabnya, “Ya… alam aja sih.” Lah, alam siapa yang bikin, Mas?
Coba aja deh liat dunia sedikit lebih luas. Lihat laut yang nggak tumpah, langit yang nggak jatuh, jantung yang terus berdetak tanpa kamu suruh. Itu semua bukan kebetulan. Tapi memang, kalo hati lagi keruh, semuanya kelihatan abu-abu–bahkan gelap pekat. Mungkin mereka bukan benar-benar nggak percaya Tuhan. Mungkin mereka cuma kecewa sama hidup, kecewa sama manusia, lalu salah alamat: yang disalahin malah Tuhan.
Sobat gaulislam, sebagian remaja Gen Z merasa berpikir kritis itu harus diikuti dengan tidak percaya pada agama. Padahal mikir kritis tuh bagus. Asal ujungnya bukan malah nyemplung ke sumur keraguan tanpa tali iman. Ya, mereka suka yang terdengar “melawan arus”. Suka hal-hal yang anti-mainstream, rebel, bebas berpikir. Tapi sering lupa bahwa melawan arus itu keren kalo tahu arah sungainya ke mana. Kalo asal melawan arus tapi nggak tahu tujuannya, yang ada malah hanyut duluan.
Oya, yang bikin miris, ada juga yang menganggap jadi atheis itu level intelektual tertinggi. Seolah-olah kalo udah ngomong “agama itu ilusi sosial” berarti IQ-nya naik 20 poin. Padahal, banyak ilmuwan hebat yang justru makin beriman setelah mendalami sains. Mereka sadar, makin jauh menelusuri alam semesta, makin kelihatan tanda-tanda kekuasaan Allah. Tapi, ya begitulah gaya sebagian orang di zaman sekarang–kalo belum ngulik eksistensi Tuhan, belum dianggap deep thinker. Padahal, yang benar-benar deep bukan yang tenggelam dalam keraguan, tapi yang menyelam dalam keimanan.
Jadi kalo sekarang banyak remaja yang merasa “berpikir bebas” dengan meninggalkan Tuhan, mungkin bukan karena mereka pintar, tapi karena mereka kehilangan arah berpikir. Ilmu mereka luas, tapi nggak ada porosnya. Padahal iman itu bukan penghalang berpikir, justru pondasi biar pikiran nggak roboh.
Ini bukan hal baru
Sobat gaulislam, kalo kamu pikir atheisme itu ide revolusioner, segar, dan cuma dimiliki anak-anak zaman digital native, Atheisme itu ide jadul, Bro en Sis. Udah nongol dari zaman Yunani kuno, Romawi, sampai filsuf-filsuf abad pertengahan. Cuma bedanya, dulu mereka nulisnya pakai papirus dan bulu angsa, sekarang pakai thread X (Twitter) dan caption Instagram.
Dulu ada tokoh-tokoh yang ngomong, “Tuhan itu cuma ciptaan manusia.” Ada juga yang bilang, “Semesta ini berjalan sendiri tanpa pengatur.” Dan lucunya, setiap generasi baru selalu merasa mereka menemukan ide yang paling keren, padahal itu cuma versi reupload dari pikiran orang zaman dulu.
Zaman Gen X dulu (iya, bapak-bapak kamu waktu masih muda), mereka juga sempat gandrung sama pemikiran semacam ini. Ada yang baca buku-buku eksistensialis kayak Sartre, Nietzsche, Camus–terus merasa “hidup ini absurd”. Tapi akhirnya sadar juga bahwa kalo hidup cuma absurd, terus ngapain masih cari makna? Jadi, buat Gen Z yang sekarang merasa atheisme itu ide segar, spoiler alert: Kalian bukan pionir. Kalian cuma nonton remake film lama dengan pemain baru.
Dan sejarah juga udah kasih spoiler berikutnya: Setiap kali manusia coba hidup tanpa Tuhan, hasilnya selalu sama: kosong. Teknologi boleh canggih, pemikiran boleh keren, tapi jiwa tetap gelisah. Karena manusia itu, sedalam apa pun dia mikir, tetap makhluk yang butuh makna. Dan makna sejati cuma bisa datang dari yang menciptakan kita.
Jadi, atheisme bukan hal baru, cuma kemasan lamanya yang diperbarui. Ide lama yang dibungkus gaya modern. Dan seperti semua “tren”, pasti bakal berlalu juga. Karena manusia pada akhirnya akan sadar–bukan Tuhan yang hilang, tapi hati yang jauh.
Kalo kita jujur, banyak remaja yang bilang “nggak percaya Tuhan” itu bukan karena dia menemukan kebenaran baru. Tapi karena mainnya kurang jauh. Dan mikirnya juga sering nggak jernih. Serius, coba bayangin: Kamu lagi duduk di kamar, lampu remang, playlist galau nyala, buka video “Filsafat Kehidupan” di YouTube, terus si pembicaranya bilang, “Kita hanyalah kesadaran sementara dalam alam tanpa makna.” Dan kamu langsung mikir, iya juga ya… hidup kok nggak ada artinya?
Oya, mainnya kurang jauh itu bukan cuma soal lokasi, tapi soal wawasan dan hati. Kalo pandangan hidup cuma diukur dari apa yang trending, ya wajar aja gampang goyah. Apalagi kalo teman-teman tongkrongan udah mulai ngomong “agama itu penjara pikiran”, kamu ikut manggut-manggut padahal belum baca kitab suci lebih dari dua halaman. Sebenernya akar masalahnya sederhana: iman nggak diisi, tapi logika dipaksa ngebut sendiri. Padahal, logika tanpa iman itu kayak motor tanpa rem–ngebut, tapi bisa nyungsep kapan aja.
Oya, ada juga yang merasa paling pintar. Dia baru baca satu buku filsafat, langsung merasa hidupnya tercerahkan. Tiba-tiba ngomong soal eksistensi, nihilisme, kesadaran kosmik, tapi lupa bayar listrik. Sementara ada kakek tukang sayur yang tiap subuh udah zikir, jualan dengan jujur, hidupnya tenang–padahal nggak tahu apa itu nihilisme. Bedanya? Orang yang satu punya iman, yang satu cuma lagi punya teori, itu pun ngawur.
Dan kalo mau jujur lagi, banyak dari mereka yang bilang “Tuhan nggak ada” itu sebenernya bukan karena punya bukti kuat, tapi karena perasaan putus asa. Bisa jadi mereka pernah doa tapi nggak sabar, pengennya langsung dikabulin. Mereka pernah kecewa sama orang yang ngaku beragama tapi kelakuannya toxic. Akhirnya mereka simpulkan: “Berarti agama nggak benar.” Padahal, yang salah itu orangnya, bukan Tuhannya.
Jadi, kalo akalnya nyala tapi imannya low-bat, ya pantes aja gelap-gelapan. Itu sebabnya, kadang mereka ngomongnya canggih, tapi hati tetap kosong. Mengapa? Karena yang mereka cari bukan kebenaran, tapi pembenaran. Dan yang paling ironis, mereka ngomong soal alam semesta–bintang, galaksi, energi, ruang-waktu–tapi lupa bahwa semua itu tunduk pada hukum yang rapi. Siapa yang bikin hukum itu? Nggak mungkin “kebetulan”, karena kebetulan nggak bisa konsisten tiap detik selama miliaran tahun.
Tapi ya itu tadi, kalo hatinya udah keras, yang terang pun dibilang gelap. Kayak orang tutup mata tapi marah karena dunia gelap. Jadi sebenarnya, atheisme bukan soal kurang bukti–tapi soal kurang hati. Kurang iman. Dan kadang, kesombongan yang bikin manusia merasa bisa hidup tanpa Tuhan. Padahal, kalo dipikir pakai logika paling sederhana: Hidup masih nebeng di bumi Allah, napas masih bergantung dari Allah, air minum dari limpahan air yang Allah turunkan, tapi bisa-bisanya bilang, “Aku nggak butuh Tuhan.” Itu kayak numpang di rumah orang tapi ngomong, “Gue nggak percaya ada pemilik rumah.”
Sebuah ironi
Ada satu fenomena yang agak bikin garuk kepala (dan garuk hati juga, dikit), yakni konon kabarnya banyak yang mengaku dekat dengan agama, tapi akhirnya malah keluar dari agama. Katanya dulu rajin ikut kajian. Katanya dulu aktif di organisasi dakwah. Katanya dulu sering jadi teman curhat spiritual. Eh, sekarang malah ngomong, “Aku capek jadi orang beragama. Terlalu banyak aturan. Aku pengen bebas.”
Lah? Berarti dulu deket sama agama, tapi bukan deket sama Allah. Karena kalo benar-benar deket sama Allah, yang tumbuh itu cinta, bukan jenuh. Iya, yang muncul itu tenang, bukan muak. Nah, yang ada justru makin sadar, bukan makin liar. Banyak orang yang mengira mereka spiritual, padahal cuma emosional. Ketika hidup lagi tenang, rajin ibadah. Begitu diuji, langsung kecewa, terus bilang, “Tuhan nggak adil.” Padahal bisa jadi Allah Ta’ala sedang menguji agar bersabar, bukan ninggalin.
Kita kadang lupa bahwa yang bikin orang jauh dari agama bukan karena agama salah, tapi karena cara sebagian orang beragama yang salah. Ada yang keras, ada yang sombong, ada yang sibuk menghakimi. Sampai akhirnya, orang yang lagi butuh pelukan malah kabur karena ngerasa diseret-seret ke pengadilan dosa.
Tapi di sisi lain, ada juga yang keluar bukan karena luka, tapi karena kesombongan intelektual. Ngerasa udah ngerti segalanya. Udah baca kitab, udah ikut kajian, udah bisa debat dalil–terus muncul rasa, “Aku nggak butuh lagi.” Nah, yang begini biasanya bukan kehilangan ilmu, tapi kehilangan adab. Ibarat hape deket colokan tapi nggak dicolok–ya tetep low-bat, walaupun sinyalnya full. Dekat agama tapi nggak tersambung sama Allah Ta’ala, hasilnya ya gitu: kosong.
Padahal agama itu bukan sekadar kumpulan aturan. Agama itu panduan hidup dari Dzat yang paling tahu cara manusia bahagia. Kalo masih ngerasa tertekan karena aturan agama, mungkin yang salah bukan aturannya, tapi ego yang belum jinak. Islam itu nggak mengekang, Islam itu ngarahin. Ibarat kalo kamu pake sabuk pengaman: awalnya nggak nyaman, tapi nyelamatin hidupmu. Dan anehnya, yang sering bilang “aku mau bebas dari agama” itu justru akhirnya malah jadi budak tren, budak opini, budak ego. Jadi, pengen bebas yang kayak gimana, sih?
Akal itu keren. Dia bisa menjelajah alam, menembus teori, dan menemukan hal-hal baru. Tapi akal juga punya batas. Dan ketika dia nekat ngelewatin batas itu, hasilnya bukan “pencerahan”, tapi malah “pencelakaan”.
Oya, filsafat tanpa iman sering jatuh ke jebakan seperti ini: semakin banyak mikir, semakin jauh dari kebenaran. Karena kebenaran bukan cuma soal logika, tapi juga soal hati yang bersih. Itu sebabnya banyak orang yang kelihatannya cerdas, tapi tetap tersesat. Karena mereka nyalain akal, tapi colokannya nggak tersambung ke wahyu.
Lihat aja tuh, banyak orang yang debat tentang penciptaan alam semesta. Mereka ngomong panjang lebar soal energi, ruang, waktu, gravitasi–keren sih, ilmiah banget. Tapi pas ditanya, “Terus energi pertama itu asalnya dari mana?” Jawabnya: “Dari… sesuatu.” Wah, jawaban yang kesannya deep banget, tapi sebenarnya kosong banget. Padahal al-Quran udah kasih clue besar, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun (asal-usul), ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?” (QS ath-Thur [52]: 35)
Ayat ini bukan cuma nendang logika, tapi juga ngunciin semua kemungkinan. Karena nggak ada jalan keluar dari situ, kecuali mengakui: ada Pencipta. Tapi, ya, begitulah kalo akal dibiarkan liar tanpa iman–dia bisa jadi sombong. Karena merasa paham semua hal, padahal cuma lihat sebagian kecil dari puzzle besar ciptaan Allah Ta’ala.
Tanpa iman, akalnya bisa crash kapan aja. Itu sebabnya ada yang bilang, “Aku mau jadi manusia rasional tanpa agama.” Tapi hasilnya malah emosional tanpa arah. Islam nggak nyuruh kamu matiin akal. Islam justru ngajak kamu pakai akal dengan cahaya wahyu. Biar mikirmu punya arah, dan hasilnya bukan kesombongan, tapi kekaguman. Karena makin dalam seseorang berpikir tentang ciptaan Allah, makin besar rasa takjub dan tunduknya kepada-Nya. Makanya para ilmuwan sejati justru rendah hati. Karena mereka sadar: semakin tahu, semakin terasa kecil. Sementara yang baru tahu setitik malah berani bilang, “Tuhan nggak ada.” Itu kayak semut baru naik meja terus bilang, “Aku udah menjelajahi dunia.”
Jadi kalo kamu mau jadi remaja keren, bukan berarti harus jadi filsuf yang ngebantah eksistensi Tuhan. Jadi keren itu ketika kamu berpikir keras tapi tetap beriman kuat. Karena logika tanpa iman cuma bikin bingung, tapi iman tanpa logika bikin lemah. Keduanya harus jalan bareng–kayak dua sayap burung yang bikin kamu bisa terbang tinggi menuju kebenaran.
Berpikir jernih
Sobat gaulislam, coba tanya ke diri sendiri, “Aku ini mikir buat apa, sih?” Buat pamer biar kelihatan smart di media sosial? Buat menang debat di kolom komentar? Atau buat benar-benar nyari kebenaran yang bikin hidup tenang? Kita hidup di zaman di mana semua orang bisa ngomong apa aja–bahkan yang belum ngerti pun bisa kelihatan paling ngerti. Ada yang baru nonton satu video YouTube tentang “sejarah Tuhan” langsung bilang, “Wah, aku tercerahkan!” Padahal baru nonton lima menit, sisanya skip-skip.
Masalahnya bukan di rasa ingin tahunya, tapi di cara berpikirnya. Kalo mikirnya cuma buat gaya, hasilnya cuma kebingungan. Tapi kalo mikirnya buat nyari ridha Allah, hasilnya ketenangan. Allah nggak larang kita berpikir. Bahkan, Dia bangga sama hamba yang suka merenung. Cuma, Allah pengen pikiran kita itu jernih, rendah hati, dan diarahkan ke kebenaran.
Coba deh baca ayat ini, “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pada pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran [3]: 190)
Orang berakal yang sejati itu justru menemukan iman dari pikirannya. Dia mikir, tapi mikirnya nggak liar. Dia bertanya, tapi hatinya tetap tunduk. Beda banget sama yang mikir buat menantang Tuhan. Itu kayak anak yang sok ngebantah orang tuanya padahal baru belajar bicara. Lucu sih, tapi nyebelin juga. Jadi, yuk, mulai sekarang kita latih diri buat mikir lebih jernih. Bukan asal ikut tren, bukan asal sok kritis. Tapi kritis yang elegan–yang berani nanya, tapi juga berani tunduk kalo udah dapet jawabannya dari wahyu.
Kalo kamu pengen jadi remaja yang berkelas, jangan cuma jago mikir, tapi juga jago merenung. Karena banyak orang pinter yang tersesat, tapi orang beriman selalu punya arah. Dan ingat: Berpikir tanpa iman itu kayak jalan di malam gelap tanpa lampu. Tapi iman tanpa berpikir itu kayak punya lampu tapi nggak pernah dinyalain. Keduanya harus nyala bareng. Baru deh kamu bisa lihat jalan hidup dengan jelas–sampai ke tujuan akhir: Allah Ta’ala.
Kamu bisa ngerti teori relativitas, tapi nggak bakal ngerti arti hidup kalo nggak kenal Pencipta. Kamu bisa ngomong “aku bebas dari agama”, tapi tetap nebeng hidup di bumi yang Allah ciptakan. Pengen bebas, tapi tetap butuh oksigen (yang bukan hasil bikinan manusia). Pengen tenang, tapi malah nyari di tempat yang bikin tambah kosong. Padahal, kalo dipikir jernih–atheisme itu bukan bentuk keberanian, tapi bentuk kelelahan. Lelah ngadepin hidup yang nggak sesuai ekspektasi, lelah sama pertanyaan yang nggak nemu jawaban, dan akhirnya memilih buat bilang, “Ah, Tuhan nggak ada!” Padahal yang sebenarnya nggak ada itu kesabaran dan ketulusan mencari kebenaran.
Kata orang, “Faith is for the weak.” Tapi kenyataannya, cuma orang kuat yang berani percaya. Karena percaya itu butuh kerendahan hati–buat ngakuin bahwa kita kecil, terbatas, dan butuh tuntunan. Jadi, kalo kamu masih dalam perjalanan mencari kebenaran, nggak apa-apa. Tapi jangan berhenti di tengah jalan. Buka hati, bersihkan pikiran, dan biarkan Allah Ta’ala yang memberikan cahaya hidayah-Nya.
Kalo kamu merasa hidupmu gelap, mungkin bukan karena cahaya-Nya hilang, tapi karena kamu belum buka jendela hatimu. Jadi, yuk, buka lagi. Biar cahaya hidayah itu masuk. Dan kamu bakal lihat–betapa indahnya hidup kalo ridha Allah Ta’ala masih menjadi tujuanmu. [O. Solihin | Join WhatsApp Channel]