Saturday, 20 April 2024, 08:09

gaulislam edisi 774/tahun ke-15 (24 Muharram 1444 H/ 22 Agustus 2022)

Seorang kawan, sesama pengajar pernah menyampaikan bahwa, “Nggak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah siswa yang malas belajar,” ujarnya suatu waktu.

Benar sih. Kalo kita malas belajar jadinya nggak banyak tahu. Jika kamu bolos sekolah, maka di hari itu kamu nggak dapat materi pelajaran. Nggak dapat suasana belajar dan nggak bertambah wawasanmu. Itu satu hari, lho. Gimana kalo bolosnya sering?

Kalo malas belajar, otomatis sih jadinya nggak dapat ilmu banyak. Jika dibandingkan dengan yang punya ilmu banyak, dan itu disebut pinter, berarti yang ilmunya sedikit (apalagi nggak punya ilmu), lalu disebut apa? Kamu bisa jawab sendiri. Sejak SD saya udah baca peribahasa ini, “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”. Ada benarnya juga, sih. Kalo kamu rajin belajar, dan itu juga sudah banyak dicontohkan orang lain, maka biasanya memang pandai. Emang pernah ada orang yang malas belajar lalu dia pandai dan bahkan juara di kelasnya?

Betul jika dikatakan bahwa belajar itu berat. Nggak semua orang tahan duduk berlama-lama sambil membaca buku, diskusi banyak hal, menyimak penjelasan guru, rajin ke perpustakaan untuk mencari bahan bacaan dan sebagainya. Semua itu berat bagi yang malas. Namun, tentu saja, sangat ringan bagi yang rajin. Itu pembiasaan, lho. Bisa karena biasa. Kalo ada orang yang bisa rajin belajar, berarti dia udah terbiasa melakukannya sejak lama. Kenapa mereka biasa belajar? Bisa jadi awalnya memang dipaksa. Dipaksa siapa? Bisa orang tuanya, bisa gurunya, bisa oleh lingkungannya. Ada hasilnya? Banyak. Alhamdulillah, saya termasuk yang salah satunya yang biasa belajar karena lingkungan sejak kecil mendukung untuk rajin belajar.

Rugi banget sih kalo kita malas belajar. Ilmu itu kudu dicari, nggak bisa datang sendiri saat kita sedang bengong atau nyantai. Emang ada gitu orang yang lagi bengong dan nyantai terus dapet ilmu? Namun yang pasti, waktu satu jam yang digunakan oleh mereka yang berletih-letih dalam belajar akan sangat berbeda jauh dengan waktu satu jam yang digunakan oleh mereka yang cuma rebahan dan mengkhayal pengen jadi pinter.

Belajar dari para ulama

Sobat gaulislam, ada baiknya kamu membaca bagaimana semangat para ulama dalam belajar untuk mendapatkan ilmunya. Mengapa? Kita bisa meneladani apa yang udah mereka lakukan dalam proses belajarnya. Supaya kita juga bisa seperti mereka dalam upaya mendapatkan ilmu. Ada beberapa contoh yang bisa kita dapatkan, saya rangkum dari laman salafy.or.id. Semoga menginspirasi, ya.

Teladan dalam kesabaran dan kesungguhan mendapatkan ilmu bisa kamu dapatkan dari Ibnu Thahir al-Maqdisy rahimahullah yang menceritakan pengalamannya, “Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits. Sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku.”

Tuh, untuk mendapatkan ilmu, beliau sampai membutuhkan perjuangan yang berat dan bahkan sakit.

Kamu kenal Imam Nawawi rahimahullah? Beliau setiap hari membaca 12 jenis ilmu yang berbeda (fikih, hadits, tafsir, dsb). Kalo kita membaca buku atau kitab, biasanya malah ngantuk, ya. Namun, nggak begitu dengan Ibnul Jahm rahimahullah. Beliau justru membaca kitab untuk mengusir kantuk, pada saat yang bukan semestinya. Sehingga beliau bisa segar kembali.

Oya, ada juga ulama yang unik. Masih berusaha mendapatkan faidah ilmu meski sedang berada di kamar mandi. Adalah Majduddin Ibn Taimiyyah (kakek dari Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah) jika akan masuk kamar mandi berkata kepada orang yang ada di sekitarnya, “Bacalah kitab ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya di kamar mandi.”

Duh, jadi malu. Berbeda banget dengan kebiasaan manusia di zaman sekarang. Ketika di kamar mandi banyak juga malah yang nyanyi-nyanyi nggak jelas atau bahkan bahkan berlama-lama karena sambil merokok.

Oya, di zaman sekarang kebanyakan remaja saat berjalan ke mana pun nggak bakalan lupa bawa hape. Smartphone. Iya, kan? Masih mending kalo hapenya itu bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Tapi kalo cuma dipake buat dengerin musik atau cuap-cuap nggak jelas juntrungannya di medsos, ya sayang banget. Nah, perlu kamu tahu, al-Hafidz al-Khathib, beliau tidaklah berjalan kecuali bersamanya kitab yang dibaca, demikian juga Abu Nu’aim al-Asbahaany (penulis kitab Hilyatul Awliyaa’). Beda banget kan dengan kita? Kedua ulama ini sering bawa kitab dalam perjalanannya. Tentu, untuk dibaca dan dikaji.

Kamu dan kita semua perlu juga belajar kepada al-Hafidz Abul ‘Alaa al-Hamadzaaniy, beliau menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy. Luar biasa. Jual rumah, beli kitab. Di zaman sekarang rasa-rasanya sulit dicari orang seperti itu.

Kemampuan seseorang dalam upaya mendapatkan ilmu, biasanya ditunjukkan dengan kemampuannya membaca buku atau kitab. Banyak baca, banyak ilmu yang didapat. Adalah Ibnul Jauzi, yang sepanjang hidupnya telah membaca lebih dari 20.000 jilid kitab. Imam al-Khathib al-Baghdady membaca Shahih al-Bukhari dalam tiga majelis (tiga malam), setiap malam mulai ba’da Maghrib hingga Subuh (jeda shalat). Sekadar kamu tahu, menurut para ulama, kitab Shahih al-Bukhari terdiri dari 7008 hadits, sehingga rata-rata dalam satu kali majelis (satu malam) dibaca 2336 hadits. Luar biasa banget!

Abdullah bin Sa’id bin Lubbaj al-Umawy dibacakan kepada beliau Shahih Muslim selama seminggu dalam sehari 2 kali pertemuan (pagi dan sore) di masjid Qurtubah Andalus setelah beliau pulang dari Makkah. Sekadar catatan, menurut para ulama, kitab Shahih Muslim terdiri dari 5362 hadits.

Al-Hafidz Zainuddin al-Iraqy membaca Musnad Ahmad dalam 30 majelis (pertemuan). Sekadar catatan, menurut para ulama, Musnad Ahmad terdiri dari 26.363 hadits, sehingga rata-rata dalam sekali majelis membacakan lebih dari 878 hadits.

Imam al-‘Izz bin Abdissalaam membaca kitab Nihaayatul Mathlab 40 jilid dalam tiga hari (Rabu, Kamis, dan Jumat) di masjid.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rata-rata menghabiskan waktu selama 12 jam sehari untuk membaca buku-buku hadits di perpustakaan.

Gimana, kita bisa kuat nggak baca buku atau kitab berjam-jam dalam sehari untuk mendapatkan ilmu? Semoga dimudahkan, ya. Yuk, diniatkan dan dipraktekkan.

Belajar itu membutuhkan ketekunan, semangat, dan kesabaran. Mengulang-ulang materi pelajaran atau membaca buku yang sama berulang-ulang dengan tujuan mendapatkan faidah ilmu. Adalah al-Muzani rahimahullah yang berkata, “Aku telah membaca kitab ar-Risalah (karya Imam asy-Syafi’i) sejak 50 tahun lalu dan setiap kali aku baca aku menemukan faidah yang tidak ditemukan sebelumnya.”

Ghalib bin Abdirrahman bin Ghalib al-Muhaariby telah membaca Shahih al-Bukhari sebanyak 700 kali. Luar biasa banget, tentu jika dibandingkan dengan generasi sekarang. Mungkin di zaman kita ini, baru sekali baca aja udah berat banget, karena malas. Atau malah nggak pernah baca kitab sekali pun.

Sobat gaulislam, biasanya kalo rajin membaca, maka jadi rajin menulis. Penulis yang baik itu adalah pembaca yang baik. Nah, ada banyak ulama yang kesungguhan menulisnya luar biasa. Ismail bin Zaid dalam semalam menulis 90 halaman kertas dengan tulisan yang rapi.

Ahmad bin Abdid Da’im al-Maqdisiy telah menulis/menyalin lebih dari 2.000 jilid kitab. Jika senggang, dalam sehari bisa menyelesaikan salinan 9 buku. Jika sibuk dalam sehari menyalin 2 buku.

Ibnul Jauzi dalam setahun rata-rata menyalin 50-60 jilid buku. Muhammad bin Mukarram yang lebih dikenal dengan Ibnu Mandzhur—penulis kitab Lisaanul Arab—ketika meninggal mewariskan 500 jilid buku tulisan tangan.

Selain membaca dan menulis untuk menyebarkan lagi ilmunya, juga bagi para pembelajar sejati, nggak bakalan meremehkan faidah ilmu. Setiap kali ada ilmu yang baru dia dapatkan, mestinya dicatat dengan baik agar suatu saat bisa dibuka kembali catatan tersebut dalam mendapatkan faidahnya.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Janganlah sekali-kali seseorang meremehkan suatu faidah (ilmu) yang ia lihat atau dengar. Segeralah ia tulis dan sering-sering mengulang kembali.”

Al-Imam al-Bukhari dalam semalam seringkali terbangun, menyalakan lampu, menulis apa yang teringat dalam benaknya, kemudian beranjak akan tidur, terbangun lagi, dan seterusnya hingga 18 kali.

Abul Qasim bin Ward at-Tamiimi jika diberikan kepada beliau suatu kitab, beliau akan membaca dari atas hingga bawah, jika menemukan faidah baru beliau tulis dalam kertas tersendiri hingga terkumpul suatu pokok bahasan khusus.

So, jangan malas mencatat, ya. Kita ini ingatannya terbatas. Jadi, salah satu upaya untuk memfungsikan daya ingat, adalah dengan mencatat atau mendokumentasikan. Cobalah!

Belajar dan mengajar juga mestinya sepanjang hayat masih dikandung badan. Terus hingga menjelang ajal. Ada kisah menarik yang bisa dijadikan inspirasi dan teladan. Abu Zur’ah ar-Raaziy ketika menjelang ajal dijenguk oleh sahabat-sahabatnya ahlul hadits. Mereka mengisyaratkan hadits tentang talqin Laa Ilaaha Illallaah. Hingga Abu Zur’ah berkata (yang artinya), “Abdul Humaid bin Ja’far meriwayatkan dari Shalih bin Abi Uraib dari Katsir bin Murrah dari Muadz dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaaha Illallaah maka ia masuk surga.”

Kemudian Abu Zur’ah meninggal dunia. MasyaAllah. Tabarakallah. Akhir hidup yang indah.

Keutamaan belajar

Sobat gaulislam, contoh kisah-kisah tadi sebenarnya udah cukup sih untuk menggerakkan kita jadi rajin belajar. Mengapa para ulama semangat belajar untuk mendapatkan ilmu? Karena mereka sangat memperhatikan keutamaan dan kedudukan ilmu. Itu bedanya dengan generasi kita saat ini, banyak yang malas belajar karena tak merasa bahwa memiliki ilmu itu penting. Iya, kan?

Belajar ilmu agama itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah. Jadi, yang kita tekankan di sini adalah ilmu agama, ya. Ilmu umum boleh juga. Tetapi setelah ilmu agama dimiliki terlebih dahulu. Misalnya di zaman sekarang perlu ilmu kedokteran, multimedia, bahasa, sains (kimia, fisika dan sejenisnya), dan banyak ilmu lainnya, tetapi bekali juga pemahaman kita dengan ilmu agama (akidah, syariah, tafsir al-Quran dan hadits, fikih dan sejenisnya) agar bisa menjaga kita tetap dalam kebenaran Islam.

Itu sebabnya, jangan malas belajar, ya. Apalagi dalam ilmu agama. Sebab, belajar ilmu agama akan mengantarkan kita ke surga. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Maka dari itu, barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang cukup.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah juga berpesan, “Barang siapa mendalami ilmu agama (Islam), mulialah kedudukannya. Barang siapa yang belajar al-Quran, besarlah harga dirinya. Barang siapa mendalami ilmu fikih, kuatlah kesehariannya. Barang siapa menulis hadist, kuatlah hujjahnya.”

Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Beritakan kepada kami amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Menuntut ilmu.” Dia bertanya kembali: “Bagi siapa?” Beliau menjawab: “Bagi orang yang benar niatnya.” Dia bertanya kembali: “Apa saja yang bisa membenarkan niat itu?” Beliau menjawab: “Dengan meniatkan dirinya agar bisa bertawadhu’ dan menghilangkan kebodohan darinya.”

Nah, udah tahu kan keutamaan ilmu dan upaya untuk mendapatkannya? Intinya sih sesuai judul buletin edisi kali ini, ya: Jangan Malas Belajar. Niatkan untuk menghilangkan kebodohan, dan upayakan seserius mungkin untuk mendapatkan ilmu. Semoga Allah Ta’ala memudahkan. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]