Wednesday, 1 May 2024, 03:32

gaulislam edisi 760/tahun ke-15 (15 Syawal 1443 H/ 16 Mei 2022)

Banyak orang kalo udah ngerasa bebas, jadi lupa diri. Melakukan kesalahan jadi biasa. Awalnya malu dan ragu, tetapi karena tak ada yang melarang jadi keterusan, merasa dibiarkan dan itu berarti boleh menurut hawa nafsunya.

Awalnya ada yang dikasih kelonggaran malah jadi nyantai, bahkan melakukan sesuatu yang bertentangan pun merasa adem ayem aja. Menganggap biasa, merasa tak ada salah. Ditambah nggak ada yang ngelarang, nggak ada yang negur. Akhirnya, merasa sudah di jalur yang benar. Merasa orang membiarkan. Udah nggak malu lagi, udah nggak sungkan lagi. Bebas sesukanya, bahkan sampai bablas.

Aturan itu penting dan perlu, lho. Nggak ada aturan dan batasan, maka yang terjadi adalah kekacauan. Tahu aturan dan tahu batasan adalah modal awal agar tak asal melakukan sesuatu. Misalnya aja, kalo ukurannya diserahkan kepada masing-masing orang, bisa gawat. Ketika mengendarai sepeda motor di jalanan, semua orang bisa jadi berkreasi dengan apa yang dia suka. Knalpotnya ada yang berisik, ngendarainnya ugal-ugalan, nggak pake helm, ban sepeda motornya tipis kayak ban sepeda (mungkin masih susah move on dari sepeda) yang ketika digeber ngebut bukan saja bisa membahayakan pengendaranya, tetapi juga membahayakan pengguna jalan yang lain. Kebayang nggak sih gimana ruwetnya kalo semua orang punya aturan sendiri padahal itu di area publik?

Aturan dan batasan itu akan membuat kita jadi nggak bisa bebas sesukanya, bahkan meredam jangan sampe bablas. Ada manfaatnya juga, lho. Makan aja kalo bebas dan nurutin hawa nafsu mah, bisa sering-sering makan tuh. Namun, apa iya bikin sehat? Apa aja dimakan dan berapa pun jumlahnya ditelan. Wuih, bisa bahaya Bro en Sis. Jangan deh.

Tak ada kebebasan mutlak

Sobat gaulislam, pernah tuh saya lihat tulisan di angkot atau bis. Eh, bis atau angkot, ya? Lupa, tapi inget isinya: “bebas tapi sopan”. Itu artinya, meski boleh bebas, tetapi kudu sopan. Berarti ada aturan dan ada batasan. Posisi duduk boleh bebas, asalkan itu sopan. Duduk ya di kursi. Jangan sampe deh kamu duduk di atas meja, itu namanya nggak sopan. Apalagi kamu dudukkin kepala orang, bisa ngamuk dia. Oya, meski duduk di kursi, tetapi kalo kakimu diangkat ke atas meja, dalam pandangan umumnya orang yang kayak gitu dinilai nggak sopan. Intinya, kalo itu udah di area publik, kudu pinter-pinter jaga diri dan jaga perasaan orang lain. Nggak bisa bebas saat kita sendirian di kamar atau di rumah sendiri.

Ngomongin kebebasan ini, bisa melebar ke mana-mana, sih. Contoh, dalam hal berpakaian saat di sekolah. Ada aturan dan batasan. Udah ditentukan jenis seragamnya dan hari saat mengenakannya. Kalo seragam pramuka yang seharusnya dipakai hari Kamis, tetapi kamu malah pake di hari Senin, berarti kamu melanggar aturan yang ditetapkan pihak sekolah. Begitu pula kalo kamu mengenakan sepatu sesuai selera kamu, padahal sudah dibatasi bentuk dan warnanya, maka kamu melanggar batasan. Paham, ya.

Bagaimana dengan pergaulan di masyarakat? Tentu saja ada aturan dan batasan juga, lah. Nggak bebas, apalagi sampe bablas. Bukan saja menurut norma masyarakat, tetapi yang terpenting menurut norma agama. Kalo kamu suka sama lawan jenis, dan karena di masyarakat sekitarmu lebih dominan membiarkan dan menganggap wajar, maka akhirnya kamu melakukan aktivitas pacaran. Tersebab merasa ada yang membolehkan, atau setidaknya membiarkan alias nggak melarang pacaran. Bisa jadi menurut norma masyarakat di sekitarmu itu membolehkan pacaran. Lalu kamu merasa tenang sekaligus senang. Namun ingat, ada norma lainnya yang lebih kuat untuk dijadikan rujukan, yakni norma agama. Nah, ini yang perlu kamu ketahui. Nggak semua yang dianggap boleh dalam suatu masyarakat, lalu dibolehkan juga dalam norma agama. Nggak gitu aturan mainnya dan jelas nggak bebas sesukanya.

Lanjut. Ini juga termasuk kasus yang lagi rame sekarang. Soal homoseksual. Lelaki suka lelaki atau perempuan suka perempuan. Maksudnya, suka dalam hal birahi, ya. Bukan suka biasa. Menurut norma agama, aturan agama, yakni agama Islam, jelas perbuatan tersebut adalah penyimpangan. Meski pelakunya dan sebagian anggota masyarakat menganggap hal itu wajar karena menganggap bagian dari ekspresi kebebasan, tetapi dalam pandangan syariat hal itu dinilai maksiat. Berdosa. Bahaya. Cek pembahasan lengkapnya di edisi pekan kemarin, ya.

Jadi, nggak bisa atas nama kebebasan lalu mengacak-acak aturan, apalagi aturan agama. Nggak boleh. Nggak ada kebebasan mutlak atas bebas tanpa batas. Tetap ada batasannya. Ada syaratnya. Berbusana saja ada aturan dan batasannya. Selain untuk menutup aurat, juga ada batasannya. Misalnya laki-laki nggak boleh mengenakan busana yang biasa dipakai wanita. Jadi, bukan sekadar menutup aurat, tetapi juga ada batasannya. Coba, gimana kalo perempuan bukannya pake kerudung, ini malah pake peci? Atau laki malah pake kerudung. Aneh.

Itu sebabnya, saya sering merasa heran sama orang-orang yang berkoar-koar tentang kebebasan berekspresi yang cenderung bebas tanpa batas. Udah gitu minta dimaklumi sembari menyalahkan orang lain. Misalnya dalam kasus wanita yang mengenakan rok mini di area publik, ada yang bikin pernyataan begini: “Salahkan otakmu, bukan rokku”. Nah, kelakuan model gini orangnya merasa benar dan menyalahkan orang lain. Why? Bagi kita kaum muslimin, tentu saja wajib taat aturan (syariat Islam). Mengenakan rok mini bagi muslimah ketika berada di area publik, terkategori membuka aurat. Berdosa. Jelas dia yang salah. Ini poin pertama. Efek samping dari kesalahannya bisa banyak, salah satunya pelecehan seksual. Masih mending kalo ada lelaki yang kuat imannya sehingga nggak tergoda (dan nggak berniat menggoda) dengan wanita yang berpakaian begitu. Gimana kalo ketemu lelaki yang lemah iman tapi kuat nafsunya? Bahaya.

Itu artinya, aturan menutup aurat harus didahulukan. Kalo ada yang merasa mengenakan rok mini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, ya jangan di area publik. Kalo itu dikenakan di area publik, pelakunya akan berurusan dengan aturan publik, terutama aturan agama. Jadi, sekali lagi: nggak ada kebebasan mutlak. Kebebasan kamu akan dibatasi dengan hak orang lain. Maka, butuh juga aturan yang ajeg, terutama syariat Islam. Nggak bisa bebas, apalagi sampe bablas. Oke, catet, ya!

Agama menyelamatkan manusia

Sobat gaulislam, ajaran agama adalah pedoman dalam kehidupan kita di dunia dan untuk meraih kebaikan di akhirat. Agama itu nasihat. Jadi kalo kita ingin selamat, ikuti ajaran agama.

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR Muslim, no. 55)

Khusus pengertian nasihat bagi kaum muslimin atau umat Islam secara umum, adalah dengan menolong mereka dalam hal kebaikan, melarang mereka berbuat keburukan, membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan, mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana ia mencintai untuk diri sendiri, dikarenakan mereka itu semua adalah hamba-hamba Allah. Maka haruslah bagi seorang hamba untuk memandang mereka dengan kacamata yang satu, yaitu kacamata kebenaran.” (Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah, hlm. 48, Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi), dinukil dari laman almanhaj.or.id.

Jadi, aturan agama ini untuk menyelamatkan manusia. Kita akan selamat jika berpegang teguh kepada ajaran agama. Khususnya agama Islam. Nggak bakalan tersesat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha [20]: 123-124)

Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca al-Quran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” (Tafsir ath-Thabari, jilid 16, hlm. 225)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, HR Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm)

Mestinya sih, dengan nasihat dan penjelasan seperti ini, kita paham. Sebab, kita bisa menggunakan akal kita untuk menerima nasihat seperti ini. Bisa mengikuti ajaran agama kita.

Imam Junaid al-Baghdadi pernah ditanya, “Kapan seseorang dianggap memiliki akal?” Lalu ia menjawab, “Ketika ia bisa membedakan dan meneliti segala hal. Begitu juga dari apa yang diharuskan akal untuk mempelajarinya. Ia terus mempelajarinya karena masih membutuhkan untuk mencari yang lebih utama agar ia bisa mengamalkannya dan lebih memprioritaskannya. Termasuk sifat orang-orang yang berakal adalah bisa memilah prioritas (mana yang lebih berhak dan mana yang lebih utama) dan tidak puas dengan amal yang sedikit dan terbatas. Sifat orang yang berakal yang meneliti beberapa perkara dengan akalnya, serta mengambil yang paling sempurna darinya.” (Tahdzib Hilyah Auliya, jilid 3, hlm. 385)

Kemudian Imam Junaid al-Baghdadi mengutip firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Mereka yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberikan petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS az-Zumar [39]: 18)

Benar. Agama itu akan menyelamatkan manusia. Hanya manusia yang berakal yang mau menerima nasihat (petunjuk) dan berupaya menguatkan keimanannya kepada Allah Ta’ala, dan bertakwa kepada-Nya dengan mengamalkan syariat-Nya. Mau diatur oleh ajaran agama. Nafsunya tunduk pada aturan dan batasan. Sebab, bebas tanpa batas dan bahkan bablas sudah terbukti membinasakan manusia. Waspadalah! [O. Solihin | IG @osolihin]