Saturday, 27 April 2024, 18:30

gaulislam edisi 853/tahun ke-17 (16 Sya’ban 1445 H/ 26 Februari 2024)

Masih berisik banget sih, meski pilpres udah hampir 2 minggu berlalu. Terutama yang berisik di medsos itu adalah para pendukung paslon. Kelompok yang diuntungkan, sebagaimana udah kita tahu semua, udah senang bukan kepalang. Bersorak sorai gembira. Sambil nyinyirin yang katanya kalah menurut hasil quick count lembaga survei tertentu. Mereka yang nggak terima jagoannya dikalahkan karena ada dugaan (bahkan sudah mengarah kepada tuduhan berdasarkan beberapa bukti yang dipaparkan), tentu aja nggak tinggal diam. Hasilnya, seperti yang udah ditulis di awal paragraf ini, berperang kata-kata.

Sebenarnya sih, menang dan kalah itu biasa. Namanya juga bertanding atau berkompetisi. Namun, yang menjadi persoalan itu bukan sekadar soal menang atau kalah, tetapi menang dan kalah secara sportif. Iya, dong. Apa nggak kesel kalo harus kalah karena dicurangi? Apa nggak malu kalo harus menang tapi dengan cara curang? Itu poinnya, sih. Kalo yang merasa menang lalu bilang ke yang katanya kalah, “kalah ya kalah aja, jangan protes”, itu sama aja ngomporin. Mestinya dia mikir sih, kalo yang kalah tapi protes berarti ada penyebabnya. Nggak mungkin banget tiba-tiba protes tanpa sebab.

Bener. Coba kamu di posisi orang yang bertanding satu lawan satu, tetapi di tengah pertarungan, kamu justru dikeroyok sama teman-teman lawanmu. Itu jelas curang. Kalo kalah karena dikeroyok padahal aturan mainnya duel satu lawan satu, kamu berhak dan pantas untuk protes. Sebab, udah terjadi kecurangan. Sebaliknya, yang merasa menang karena curang, malu dong, ah. Gitu aja kudu jembrengin panjang lebar, sih. Malu atuh. Menang tapi curang. Itu namanya nggak sportif. Nggak asyik. Apalagi pake koar-koar bahwa “kalah ya kalah aja, jangan protes”. Terus jumawa sambil nyinyirin, “yang menang merayakan, yang kalah menjelaskan”. Eh, emang kamu nggak malu menang tapi curang? Kecuali, ya, kamu udah hilang rasa malumu. Biasanya yang kayak gitu, karakternya adalah culas bin licik dan “muka tembok”, nggak peduli dihujat dan walau salah tetapi tak merasa bersalah. Menyedihkan!

Menang biasa, kalah biasa   

Sobat gaulislam, nggak ada yang perlu diributkan kalo menang dan kalah itu secara fair. Sebab, menang dan kalah itu hal biasa terjadi. Bisa dialami banyak orang. Lagian kalo menang secara sportif, pihak yang dikalahkan juga bakalan ngasih hormat. Sebab, yang kalah udah berusaha semaksimal yang bisa dilakukan tanpa dicurangi pihak lain, dan yang menang juga memang menunjukkan kelasnya bahwa dia layak menang dan tentu tanpa kecurangan. Pasti penonton juga maklum. Wasitnya juga tegas menegakkan aturan. Kalo menang dan kalah dengan cara seperti, saya sih yakin banget yang bertanding dan yang cuma nonton nggak bakalan protes, apalagi harus bertengkar kata-kata atau adu jotos secara fisik. Malu, dah.

Kalo pihak yang berkompetisi dan pendukungnya serta pihak berwenang dalam kompetisi itu tertib, kita bisa memastikan bahwa jalannya pertandingan akan sportif. Apa pun hasilnya, ada di pihak yang layak menang atau di pihak yang pantas kalah, maka para kontestan dan pendukungnya udah sama-sama tahu dan paham. Nggak bakalan mempertanyakan hasil, kenapa menang kenapa kalah. Itu sebabnya, kompetisi jadi murni hasil dari apa yang sudah diupayakan semua kontestan.

Intinya, menang atau kalah itu hal biasa. Nggak ada yang perlu diperdebatkan kalo tanpa kecurangan. Memang akan kian runyam kalo menang hasil curang, kalah karena dicurangi. Bahaya banget, bisa berlarut-larut pro dan kontranya. Kayak sekarang ini, di negeri kita. Sampai tulisan ini diterbitkan masih aja berantem, terutama di media sosial. Campur aduk dan saling nggak terima. Nggak terima dicurangi, dan nggak terima dianggap curang.

Bagaimana kalo udah begini? Sebenarnya nggak perlu repot dan ruwet. Kalo memang mau serius menyelesaikan dan tidak ada konflik kepentingan di semua pihak, termasuk pengawas pemilu, maka bisa cepat juga kelarnya. Nggak ada yang ditutupi, nggak ada tekanan dari pihak lain, termasuk penguasa yang saat ini udah kentara banget dukungannya kepada salah satu paslon. Bahkan warganet udah menyematkan label kalo yang udah dianggap menang itu, sebenarnya perpanjangan tangan aja dari rezim sekarang. Ibaratnya, presiden saat ini menggunakan akun kedua, second account. Dia dia juga sebenarnya. Cuma ganti kulit.

Itu sebabnya, perkara ini bukan sekadar menang atau kalah, tetapi udah ada kepentingan tertentu yang berimbas pada diuntungkannya salah satu paslon dan dirugikannya paslon lain tersebab utak-atik memanipulasi angka kecurangan. Jelas rugi dong kalo kenyataannya begitu. Nggak fair. Jadi, pemilu sekadar tahapan yang harus dilalui aja agar disebut demokratis, padahal sejatinya mengakali agar bisa tetap berkuasa dengan cara menjegal pihak lain untuk berkuasa. Culas memang.

Siapa mendukung apa?

Sobat gaulislam, bukan soal menang dan kalah, tetapi ini juga soal siapa mendukung apa. Kalo ada pihak yang berkompetisi, termasuk dalam pilpres ini, mestinya rakyat secara umum bisa mengetahui visi dan misi para paslon. Apa saja programnya, apa janji-janjinya, bagaimana karakternya, seperti apa kualitas diri para paslon, adabnya, ilmunya, dan banyak hal lain. Kalo ada program yang ditawarkan, apakah realistis atau malah bikin ruwet, bagaimana solusinya jika terjadi kendala. Intinya, harus selektif. Bukan malah mendukung paslon tertentu dengan pertimbangan karena udah ngasih duit dan bansos. Nggak lagi diperhatikan siapa paslon tersebut, bagaimana prestasinya selama ini, seperti apa etika (adabnya), bagaimana ilmunya, dan apakah programnya bisa direalisasikan untuk kepentingan rakyat atau hanya untuk keuntungan kelompoknya semata.

Oya, sebagai muslim tentu kita punya prinsip, yakni membela kebenaran dan mendukung pihak yang melakukan kebaikan. Jadi, meski semua paslon itu muslim, tetapi harus dicari yang paling menonjol dalam keimanan, adab, ilmu, dan komitmennya terhadap kebaikan agamanya. Meski memang nggak sempurna sampai 100 persen baik, tetapi setidaknya ada banyak sisi kebaikannya, dan sedikit sisi keburukannya. Ini juga yang kemudian membuat sebagian ulama berfatwa untuk mendukung paslon yang sedikit mudharatnya bagi kaum muslimin dan agama. Itu hal wajar walau tentu aja nggak sempurna karena belum bisa menerapkan syariat Islam secara kaaffah (menyeluruh dan totalitas), tersebab masih dalam sistem yang bukan Islam. Namun, setidaknya keberpihakan umat Islam kepada paslon tertentu itu bisa menjadi salah satu batu pijakan untuk memperbaiki kondisi yang selama ini buruk.

Itu sebabnya, dukungan kepada paslon itu bisa dipertimbangkan atas dasar siapa mendukung apa. Siapa yang mendukung paslon tersebut? Apa yang didukungnya? Jika kita tahu pendukung paslon tertentu adalah pihak yang selama ini terkenal nggak baik dan nggak mau melakukan perubahan ke arah kebaikan, ya kita jangan ikut-ikutan dukung paslon tersebut. Belum lagi, alasan orang yang mendukung paslon tersebut, atas dasar apa dukungannya, apakah karena programnya, atau karena ada alasan lainnya. Jadi, jangan asal dukung aja tanpa tahu kondisi paslon dan para pendukungnya.

Di mana posisi kita?

Sobat gaulislam, tentu aja kita wajib berada di posisi yang baik. Berpihak kepada kebaikan. Mendukung yang lebih baik. Membela yang memang layak dibela. Islam, adalah agama yang wajib kita yakini kebenarannya, tersebab kita sebagai muslim. Kaum muslimin tentu saja menunjukkan keberpihakannya kepada Islam. Membela kaum muslimin yang mendukung tegaknya syariat Islam. Idealnya begitu. Namun, saat ini Islam tak tegak sebagai ideologi negara. Islam baru sebatas ada pada diri individu muslim atau kelompok dakwah serta komunitas saja. Itu pun beragam juga karakter dan kualitas keilmuannya. Ini fakta yang tak bisa dipungkiri.

Lalu, bagaimana agar kita bisa berjuang menyelamatkan kaum muslimin? Memang harus terjun di tengah masyarakat. Membersamai mereka. Memberikan solusi atas permasalahan umat. Ada solusi praktis, ada solusi sistemik. Termasuk dalam hal ini, yakni soal pilpres di sistem demokrasi. Memang ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin. Ada yang berpendapat larangan memperjuangkan tegaknya Islam melalui jalur sistem demokrasi. Sehingga, yang berpendapat demikian nggak bakal ikut terlibat di dalamnya. Ada pula yang berpendapat bahwa memanfaatkan sistem demokrasi karena udah terlanjur sistem inilah yang saat ini digunakan dan banyak umat Islam yang juga sudah terlibat di dalamnya. Pendapat yang diambil berdasarkan mudaharatnya sedikit. Memang diakui, tak bakal sempurna, tetapi setidaknya ada pengendali dari mereka yang berjuang di dalamnya. Sebab, umat butuh solusi praktis, selain sistemik.

Maka, mestinya bisa sinergi antara yang memilih berjuang menegakkan syariat Islam di luar sistem demokrasi, dengan kaum muslimin yang berjuang menegakkan Islam di dalam sistem demokrasi. Jika yang dilihat adalah perbedaan sikap, memang nggak bakal kelar seperti selama ini. Pasti berdebat terus, nggak ada ujungnya. Pilihan akhirnya, silakan berjuang di jalur masing-masing tetapi tujuannya sama, membela Islam dan kaum muslimin. Sinergi saja. Fastabiqul khairat alias berlomba-lomba dalam kebaikan untuk mengedukasi umat. Jadi kuncinya, adalah tentukan posisi kita sebagai pendukung kebenaran Islam dan membela para pejuangnya meski yang diperjuangkan belum sempurna.

Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Barang siapa menghendaki kemuliaan, sesungguhnya milik Allah-lah kemuliaan itu seluruhnya. Kepada-Nya naik kalimat yang baik dan amal yang saleh dinaikkan oleh-Nya.” (QS Fathir [35]: 10)

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya, siapa yang menginginkan kemuliaan, hendaknya dia berusaha meraihnya dengan ketaatan kepada Allah dan dengan zikir mengingat-Nya berupa kalimat kalimat baik dan amal saleh. Dalam doa qunut, “Sungguh, tidak akan terhina seorang yang membela-Mu, dan tidak akan mulia seorang yang memusuhi-Mu.” Siapa yang taat kepada Allah, Allah telah membelanya dalam ketaatannya tersebut dan akan mendapat kemuliaan sesuai dengan kadar ketaatannya. Siapa yang bermaksiat kepada Allah, maka dia telah memusuhi Allah pada perkara maksiat tersebut dan akan mendapat kehinaan sesuai dengan kadar maksiatnya.” (dalam ad-Da’u wad Dawa’u, hlm. 419)

Para ulama menjabarkan pentingnya Islam berdampingan dengan kekuasaan, “Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula, agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berfondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” (dalam Abu Abdillah al-Qali, Tadrîb ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, jilid 1, hlm. 81])

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), Katakanlah, “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara yang benar, dan keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS al-Isra’ [17]: 80)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah, seraya mengutip Qatadah rahimahullah, menjelaskan frasa “kekuasaan yang menolong”, menyatakan: “… (yakni kekuasaan) untuk membela Kitabullah, menerapkan hukum-hukum-Nya, melaksanakan berbagai kewajiban dan menegakkan agama-Nya.” (dalam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-Azhîm, jilid 5, hlm. 111)

Jadi, ini memang bukan soal menang atau kalah semata. Namun, menang dengan cara apa dan kalah secara apa. Jika ada kecurangan, tentunya yang merasa dikalahkan berhak menuntut keadilan dan yang merasa dimenangkan mestinya tahu diri. Selain itu, ada yang jauh lebih penting dari soal menang atau kalah, yakni tentang keberpihakan kita sebagai muslim. Berpihak pada kebenaran Islam, dan membersamai kaum muslimin dalam memperjuangkan tegaknya Islam dan kalimah tauhid. Jika ada perbedaan cara berjuang, maka tak perlu saling serang. Tetaplah fokus berjuang sesuai prinsip dan cara yang diyakininya serta tetap saling mendukung meski berbeda jalan perjuangan. Mencari persamaan, dan meminimalisir perbedaan. Yuk, bersatu dalam kebenaran dan kebaikan Islam sebagai tujuan perjuangan. [O. Solihin | IG @osolihin]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *